PERPECAHAN MATARAM
KESULTANAN
NGAYOGYAKARTA DAN KASUNANAN SURAKARTA
Indonesia
merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Di dalamnya terdapat berbagai
peristiwa yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Salah satu di
antaranya adalah seputar berdirinya Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Negeri
yang dipimpin oleh raja yang bergelar Sultan Hamengkubuwono ini merupakan satu
– satunya wilayah di Nusantara yang mampu berdiri sendiri alias tidak merasakan
pahitnya kolonialisme secara langsung. Berdirinya kraton ini juga merupakan
pembuktian terhadap makna kehidupan yang selalu berputar.
Jika
kita urutkan, awalnya di daerah Jawa Tengah lahirlah Kerajaan Mataram (Kuno).
Karena kondisi alam yang waktu itu, yakni pada awal abad ke 11 M., Gunung
Merapi meletus, sehingga Mpu Sendok memindahkan pusat pemerintahan ke Jawa
Timur. Di Jawa Timur, oleh Airlangga, kerajaan dibagi menjadi dua, Jenggala dan
Kediri. Di antara keduanya, lebih banyak catatan sejarah tentang Kerajaan
Kediri. Pada tahun 1222, Ken Arok berhasil menumbangkan Kertajaya dalam sebuah
peperangan, sehingga jatuhlah Kediri dan munculah Singasari.
Kerajaan
Singasari mencapai puncak kejayaannya ketika Kertanegara naik tahta. Pun juga
di masa pemerintahannya Singasari tumbang oleh pemberontakan Jayakatwang (sisa
– sisa keturunan Kediri). Tetapi Jayakatwang tidak berhasil membangun Kediri
seperti dulu lagi karena mendapat serangan dari menantu Kertanegara, Raden
Wijaya. Setelah kemenangan ini, lahirlah negara nusantara kedua, Majapahit.
Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaannya ketika hadir sebagai pemimpin
pemerintahan adalah duet Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada.
Setelah
mereka berdua tiada, kondisi kerajaan menjadi kacau. Terjadi perebutan
kekuasaan antara Wikramawardhana (putra permaisuri Hayam Wuruk) dengan Bhre
Wirabumi (putra selir Hayam Wuruk). Akibatnya, meletuslah Perang Paregreg.
Perang ini memberikan dampak yang sangat buruk bagi eksistensi Majapahit.
Banyaknya korban jiwa dan biaya mahal untuk berperang merupakan masalah yang
tidak sepele. Selain itu, banyak wilayah – wilayah majapahit memisahkan diri
sehingga pamor Majapahit semakin pudar.
Di
saat yang hampir bersamaan, muncul sebuah kesultanan di kota Demak. Ini
merupakan kesultanan yang pertama di Tanah Jawa. Pelan tapi pasti, pengaruh
Islam (Demak) mulai menguat dan pengaruh Majapahit semakin berkurang. Ketika
Syiar Islam mulai memasuki istana, orang – orang yang tidak setuju memilih
untuk mengasingkan diri ke Tengger atau menyebrang ke Pulau Bali. Ketika Demak
kehilangan Sultan Trengono yang tewas dalam upaya penyerangan ke Pasuruan,
terjadi perebutan kekuasaan antara sang putra mahkota dengan putra adik Sultan
Trenggono.
Perpecahan
ini membuat pengaruh Demak di Tanah Jawa mulai menurun. Terlebih lagi setelah
Banten dan Cirebon memisahkan diri. Usaha penyelamatan kesultanan dilakukan
oleh Jaka Tingkir (sang putra mahkota) dengan memindahkan pusat pemerintahan ke
daerah pedalaman dan lahirlah Kesultanan Pajang. Kabar tertulis mengenai
kondisi Pajang jarang ditemukan. Satu hal yang pasti, Jaka Tingkir yang
bergelar Sultan Hadiwijaya telah memberikan sebuah wilayah kepada Sutawijaya di
daerah yang kita kenal sekarang sebagai Kota Gede. Ketika pengaruh Pajang mulai
surut, Sutawijaya yang dibantu Ki Ageng Pemanahan kemudian bergelar Panembahan
Senopati mendirikan Kesultanan Mataram Islam.
Kebesaran
Mataram mulai terasa ketika kesultanan ini dipimpin oleh Panembahan Agung
Abdulrahman atau yang lebih dikenal sebagai Sultan Agung Hanyokrokusumo.
Peningkatan terjadi di berbagai bidang. Antara lain adalah wilayah kesultanan
yang semakin luas (meliputi sebagian besar Pulau Jawa), perekonomian yang
sehat, kesusastraan yang maju, dan bahkan di masa Sultan Agung inilah kalender
Jawa dan kalender Hijriyah dapat “disatukan”. Khusus untuk penyatuan kalender
ini, ada satu hal yang menarik. Yakni dari sisi bahasa.
Jika
di kalender Hijriyah terdapat Syafar,
maka oleh Sultan Agung diubah menjadi Sapardi
kalender Jawa. Jika di kalender Hijriyah
terdapat Rajab, maka diubah di
kalender jawa menjadi Rejeb. Jika di
kalender Hijriyah terdapat Dzul Qa’dah,
maka di kalender Jawa menjadi Dulkangidah.
Disamping karena faktor lidah, penamaan bulan di kalender Jawa juga disesuaikan
berkenaan dengan “ritual” keagamaan yang terjadi pada bulan tersebut. Bulan
yang dimaksud adalah Ruwah, yang di
kalender Hijriyah disebut sebagai bulan Sya’ban.
Pada bulan ini, dalam tradisi Jawa diadakan “ruwatan” atau pembersihan lahir
batin guna menyambut bulan suci Ramadan.
Selain
itu, dengan gagah berani selama dua tahun berturut-turut (1828-1829) di bawah
komando Sultan Agung, pasukan Mataram menggempur Batavia demi mengusir VOC
(Belanda) dari Jawa. Dan pada serangan kedua, pasukan Mataram berhasil membuat
gubernur jenderal yang kala itu berkuasa, Jan Pieterzoon Coen tewas.
Sebagaimana
kehidupan istana pada umunya yang pasti tidak pernah lepas dari konflik
internal, Kesultanan Mataram juga mengalami yang sama. Yang menjadi pembeda
adalah adanya campur tangan VOC. Sehingga masalah yang sudah pelik jadi semakin
runyam. Sebenarnya, tujuan (awal) VOC adalah menjalin hubungan dagang dengan
Mataram (dengan mengesampingkan konfrontasi yang dulu pernah dilakukan oleh
Sultan Agung). Sama sekali tidak menyentuh ranah politik. Tetapi, karena adanya
kelemahan di dalam istana. Ditambah lagi dengan adanya pejabat – pejabat teras
yang “mudah dibeli” yang membuat unsur – unsur politik VOC semakin lama semakin
membuat pengaruh kongsi dagang ini semakin kuat.
Peluang
pertama VOC mulai muncul sepeninggal Sunan Amangkurat II pada tahun 1703. Saat
itu terjadi pertentangan antara Sunan Mas, selaku putra mahkota, dengan
Pangeran Puger, adik Sunan Amangkurat II. Belanda membantu Pangeran Puger
menyingkirkan Sunan Mas. Beliau berhasil dikalahkan dan dibuang ke Sri Lanka.
Tetapi, Pangeran Puger yang dinobatkan sebagai Paku Buwono I ini harus membayar
mahal. Dia kehilangan Cirebon, Priangan, dan timur Madura (Mochtar Lubis,
1982). Kebesaran Mataram pada masa Sultan Agung untuk sementara waktu mengalami
kepudaran.[1]
Pada
tahun 1719 Paku Buwono I wafat. Pecah kembali sengketa di antara anggota
keluarganya yang menentang Sunan Prabu sebagai pengganti. Kesempatan ini
dimanfaatkan dengan baik oleh Belanda untuk semakin menanamkan cengkramannya di
bumi Mataram. Belanda mengirimkan pasukan ke Kartasura dan menumpas para
penentang Sunan. Setelah Sunan Amangkurat IV wafat pada 1727, VOC dengan licik
mendukung putranya yang masih berusia 16 tahun untuk naik tahta sebagai Paku
Buwono II (Mochtar Lubis, 1982). Raja yang masih belia ini tentu masih sangat
kurang pengalaman dan mudah terombang – ambing oleh kelompok – kelompok oportunis.[2]
Perlawanan
terhadap ketidakadilan masih menyala. Pada tahun 1740, meletus keributan yang
melibatkan etnis Tionghoa dengan Belanda. Menjalar dari Batavia hingga Jawa
Tengah. Akibat peristiwa ini, kraton yang kala itu beribu kota di Kartasura
mengalami kekacauan. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan sebutan Geger Pacinan. Paku Buwono tak berdaya
menghadapi koalisi elit antara elit bangsawan oposan dengan para pengusaha
Cina. Dia terpaksa menyingkir ke Gunung Lawu.
Para
pejuang Mataram merasa tiba waktunya untuk mengusir VOC keluar daribumi
Mataram. Mereka beraliansi dengan etnis Tionghoa. Bahkan Pakubuwono sempat ikut
membela perlawanan ini. Tetapi VOC dengan bantuan Panembahan Cakraningrat dari
Madura mampu mematahkan kepungan pasukan Jawa dan Madura. Kartasura pun kembali
diduduki Belanda. Hal ini membuat Paku Buwono bimbang dan kemudian malah justru
memihak kepada Belanda. Sunggguh keputusan yang menyesakkan lingkungan Kraton
Surakarta.
Di
tempat terpisah, para pendukung cucu Sunan Mas, menobatkan Raden Mas Garendi
sebagai susuhunan yang sah. Kemudian mereka bersama dengan orang – orang
Tionghoa menggempur kraton. Sayang, serangan ini dapat dipatahkan Belanda.
Sebagai gantinya Paku Buwono II harus membayar mahal. Kekuasaan Belanda
terpaksa ia terima diseluruh Mataram dan kepada VOC diberi hak untuk mencetak
uang sendiri di Jawa.
Sesudah
itu muncul lagi perlawanan yang dipimpin oleh Raden Mas Said yang dibantu adik
Paku Buwono II, Pangeran Mangkubumi. Daerah yang mereka kuasai semakin luas,
terlebih setelah Paku Buwono II wafat pada tahun 1749 dan digantikan oleh
putranya, Paku Buwono III. Perjuangan Pangeran Sambernyowo (nama lain Raden Mas
Said) terus berlanjut hingga 17 Maret 1757 di Salatiga. Adapun sejak tahun
1744, sebenarnya para raja Jawa secara riil tidak efektif lagi kekuasannya.
Aktivitas politik sehari – hari diambil alih oleh Pepatih Dalem yang harus
loyal kepada VOC, karena mereka telah diangkat, disumpah, dan digaji oleh VOC.
Pertikaian
politik Kraton Mataram telah menghabiskan daya dan dana yang tidak sedikit
jumlahnya. Stabilitas politik dan keamanan yang kacau benar – benar mengganggu
jalannya roda perekonomian. Raja dan para bangsawan terkuras keuangannya,
sehingga terlilit hutang berlipat. Puncaknya adalah ketika pada 11 Desember
1749, Paku Buwono menyerahkan Kraton Mataram secara total kepada VOC, dengan
Gubernur Jenderal Gustaf Willem Baron van Imhof. Atau dengan kata lain, sejak
saat itu, Mataram telah “dijual” kepada VOC.
Peristiwa
ini tak ayal membuat para patriot Mataram kebakaran jenggot. Pangeran
Mangkubumi beserta barisan oposisi kesultanan menggugat isi perjanjian
tersebut. Situasi semakin panas dan menegangkan. Kerusuhan sosial terjadi di
mana – mana. Raja Mataram yang baru, Paku Buwono III masih melanjutkan
kebijakan politik pendahulunya. Ketegangan semakin mengerucut antara Paku
Buwono II yang dibantu VOC melawan Pangeran Mangkubumi yang beraliansi dengan
Raden Mas Said. Perang terbuka maupun gerilya terjadi selama 6 tahun
(1749-1755). Perang yang berkepanjangan ini melelahkan kedua belah pihak. Di
kisaran tahun 1754, mulai ada beberapa upaya perundingan yang dilakukan oleh
kedua belah pihak. Perundingan – perundingan ini bisa terlaksana atas prakarsa
gubernur wilayah pesisir timur laut yang baru, Nicolaas Hartingh, melalui
seorang penengah berkebangsaan Turki, Syeh Ibrahim[3].
Akhirnya, pada 13 Februari 1755, dicapai kesepakatan antara Pangeran Mangkubumi
dengan Paku Buwono III atau yang lebih kita kenal saat ini dengan Perjanjian
Giyanti.
Pokok
dari perjanjian tersebut adalah Palihan Nagari.
Yakni membelah Mataram menjadi dua. Susuhunan Paku Buwono III mendapat wilayah
dengan ibukota Surakarta. Pangeran Mangkubumi mendapatkan bagiannya yang beribu
kota di Yogyakarta. Pembagian ini diikuti dengan pembagian budaya. Budaya
Surakarta dan Budaya Yogyakarta seolah bersaing keras yang tidak jarang
menciptakan perselisihan.
Untuk
kesekian kalinya, sungguh hebat peranan yang dipegang oleh para gubernur dalam
pemerintahan kolonialis Belanda selama ratusan tahun silam. Betapa pandainya
pimpinan VOC dan para pimpinan pemerintahan belanda mendalangi perang saudara
di antara para penguasa lokal dengan menyebarkan benih – benih perpecahan
secara terus – menerus. Bila pada masa Paku Buwono II, van Hoffendorf menyukai
cara keras, maka Hartingh lebih memilih untuk menggunakan cara yang lebih
halus.
Cara
hartingh membagi Mataram menjadi dua, yang berarti ada dua raja yang masih
memiliki hubungan kekeluargaan ini juga bukti betapa pandai ia melepas umpan.
Tujuannya tentu tak lain dan tak bukan adalah agar selalu ada benih
pertengkaran di antara para raja. Misalnya, ada daerah – daerah yang sengaja
dimasukkan sebagai wilayah Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, tetapi
wilayahnya terselip di tengah – tengah area Kasunanan Surakarta atau
sebaliknya. Tentu hal macam ini dalam jalannya roda pemerintahan sering
mempertajam hubungan. Ketika ada perselisihan, munculah gubernur VOC yang akan
tampil sebagai pendamai. Tetapi, ada saja keuntungan yang mereka peroleh
(Kustiniyati, 1982).[4]
DAFTAR PUSTAKA
Djoko Dwiyanto. Kraton Ngayogyakarta, Sejarah, Nasionalisme,
dan Tekad Perjuangan. Paradigma Indonesia.
M.C Ricklefs. 2011. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.