Jumat, 13 September 2013

kerajaan Mataram islam

PERPECAHAN MATARAM
KESULTANAN NGAYOGYAKARTA DAN KASUNANAN SURAKARTA
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Di dalamnya terdapat berbagai peristiwa yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Salah satu di antaranya adalah seputar berdirinya Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Negeri yang dipimpin oleh raja yang bergelar Sultan Hamengkubuwono ini merupakan satu – satunya wilayah di Nusantara yang mampu berdiri sendiri alias tidak merasakan pahitnya kolonialisme secara langsung. Berdirinya kraton ini juga merupakan pembuktian terhadap makna kehidupan yang selalu berputar.
Jika kita urutkan, awalnya di daerah Jawa Tengah lahirlah Kerajaan Mataram (Kuno). Karena kondisi alam yang waktu itu, yakni pada awal abad ke 11 M., Gunung Merapi meletus, sehingga Mpu Sendok memindahkan pusat pemerintahan ke Jawa Timur. Di Jawa Timur, oleh Airlangga, kerajaan dibagi menjadi dua, Jenggala dan Kediri. Di antara keduanya, lebih banyak catatan sejarah tentang Kerajaan Kediri. Pada tahun 1222, Ken Arok berhasil menumbangkan Kertajaya dalam sebuah peperangan, sehingga jatuhlah Kediri dan munculah Singasari.
Kerajaan Singasari mencapai puncak kejayaannya ketika Kertanegara naik tahta. Pun juga di masa pemerintahannya Singasari tumbang oleh pemberontakan Jayakatwang (sisa – sisa keturunan Kediri). Tetapi Jayakatwang tidak berhasil membangun Kediri seperti dulu lagi karena mendapat serangan dari menantu Kertanegara, Raden Wijaya. Setelah kemenangan ini, lahirlah negara nusantara kedua, Majapahit. Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaannya ketika hadir sebagai pemimpin pemerintahan adalah duet Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada.
Setelah mereka berdua tiada, kondisi kerajaan menjadi kacau. Terjadi perebutan kekuasaan antara Wikramawardhana (putra permaisuri Hayam Wuruk) dengan Bhre Wirabumi (putra selir Hayam Wuruk). Akibatnya, meletuslah Perang Paregreg. Perang ini memberikan dampak yang sangat buruk bagi eksistensi Majapahit. Banyaknya korban jiwa dan biaya mahal untuk berperang merupakan masalah yang tidak sepele. Selain itu, banyak wilayah – wilayah majapahit memisahkan diri sehingga pamor Majapahit semakin pudar.
Di saat yang hampir bersamaan, muncul sebuah kesultanan di kota Demak. Ini merupakan kesultanan yang pertama di Tanah Jawa. Pelan tapi pasti, pengaruh Islam (Demak) mulai menguat dan pengaruh Majapahit semakin berkurang. Ketika Syiar Islam mulai memasuki istana, orang – orang yang tidak setuju memilih untuk mengasingkan diri ke Tengger atau menyebrang ke Pulau Bali. Ketika Demak kehilangan Sultan Trengono yang tewas dalam upaya penyerangan ke Pasuruan, terjadi perebutan kekuasaan antara sang putra mahkota dengan putra adik Sultan Trenggono.
Perpecahan ini membuat pengaruh Demak di Tanah Jawa mulai menurun. Terlebih lagi setelah Banten dan Cirebon memisahkan diri. Usaha penyelamatan kesultanan dilakukan oleh Jaka Tingkir (sang putra mahkota) dengan memindahkan pusat pemerintahan ke daerah pedalaman dan lahirlah Kesultanan Pajang. Kabar tertulis mengenai kondisi Pajang jarang ditemukan. Satu hal yang pasti, Jaka Tingkir yang bergelar Sultan Hadiwijaya telah memberikan sebuah wilayah kepada Sutawijaya di daerah yang kita kenal sekarang sebagai Kota Gede. Ketika pengaruh Pajang mulai surut, Sutawijaya yang dibantu Ki Ageng Pemanahan kemudian bergelar Panembahan Senopati mendirikan Kesultanan Mataram Islam.
Kebesaran Mataram mulai terasa ketika kesultanan ini dipimpin oleh Panembahan Agung Abdulrahman atau yang lebih dikenal sebagai Sultan Agung Hanyokrokusumo. Peningkatan terjadi di berbagai bidang. Antara lain adalah wilayah kesultanan yang semakin luas (meliputi sebagian besar Pulau Jawa), perekonomian yang sehat, kesusastraan yang maju, dan bahkan di masa Sultan Agung inilah kalender Jawa dan kalender Hijriyah dapat “disatukan”. Khusus untuk penyatuan kalender ini, ada satu hal yang menarik. Yakni dari sisi bahasa.
Jika di kalender Hijriyah terdapat Syafar, maka oleh Sultan Agung diubah menjadi Sapardi kalender Jawa.  Jika di kalender Hijriyah terdapat Rajab, maka diubah di kalender jawa menjadi Rejeb. Jika di kalender Hijriyah terdapat Dzul Qa’dah, maka di kalender Jawa menjadi Dulkangidah. Disamping karena faktor lidah, penamaan bulan di kalender Jawa juga disesuaikan berkenaan dengan “ritual” keagamaan yang terjadi pada bulan tersebut. Bulan yang dimaksud adalah Ruwah, yang di kalender Hijriyah disebut sebagai bulan Sya’ban. Pada bulan ini, dalam tradisi Jawa diadakan “ruwatan” atau pembersihan lahir batin guna menyambut bulan suci Ramadan.
Selain itu, dengan gagah berani selama dua tahun berturut-turut (1828-1829) di bawah komando Sultan Agung, pasukan Mataram menggempur Batavia demi mengusir VOC (Belanda) dari Jawa. Dan pada serangan kedua, pasukan Mataram berhasil membuat gubernur jenderal yang kala itu berkuasa, Jan Pieterzoon Coen tewas.
Sebagaimana kehidupan istana pada umunya yang pasti tidak pernah lepas dari konflik internal, Kesultanan Mataram juga mengalami yang sama. Yang menjadi pembeda adalah adanya campur tangan VOC. Sehingga masalah yang sudah pelik jadi semakin runyam. Sebenarnya, tujuan (awal) VOC adalah menjalin hubungan dagang dengan Mataram (dengan mengesampingkan konfrontasi yang dulu pernah dilakukan oleh Sultan Agung). Sama sekali tidak menyentuh ranah politik. Tetapi, karena adanya kelemahan di dalam istana. Ditambah lagi dengan adanya pejabat – pejabat teras yang “mudah dibeli” yang membuat unsur – unsur politik VOC semakin lama semakin membuat pengaruh kongsi dagang ini semakin kuat.
Peluang pertama VOC mulai muncul sepeninggal Sunan Amangkurat II pada tahun 1703. Saat itu terjadi pertentangan antara Sunan Mas, selaku putra mahkota, dengan Pangeran Puger, adik Sunan Amangkurat II. Belanda membantu Pangeran Puger menyingkirkan Sunan Mas. Beliau berhasil dikalahkan dan dibuang ke Sri Lanka. Tetapi, Pangeran Puger yang dinobatkan sebagai Paku Buwono I ini harus membayar mahal. Dia kehilangan Cirebon, Priangan, dan timur Madura (Mochtar Lubis, 1982). Kebesaran Mataram pada masa Sultan Agung untuk sementara waktu mengalami kepudaran.[1]
Pada tahun 1719 Paku Buwono I wafat. Pecah kembali sengketa di antara anggota keluarganya yang menentang Sunan Prabu sebagai pengganti. Kesempatan ini dimanfaatkan dengan baik oleh Belanda untuk semakin menanamkan cengkramannya di bumi Mataram. Belanda mengirimkan pasukan ke Kartasura dan menumpas para penentang Sunan. Setelah Sunan Amangkurat IV wafat pada 1727, VOC dengan licik mendukung putranya yang masih berusia 16 tahun untuk naik tahta sebagai Paku Buwono II (Mochtar Lubis, 1982). Raja yang masih belia ini tentu masih sangat kurang pengalaman dan mudah terombang – ambing oleh kelompok – kelompok oportunis.[2]
Perlawanan terhadap ketidakadilan masih menyala. Pada tahun 1740, meletus keributan yang melibatkan etnis Tionghoa dengan Belanda. Menjalar dari Batavia hingga Jawa Tengah. Akibat peristiwa ini, kraton yang kala itu beribu kota di Kartasura mengalami kekacauan. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan sebutan Geger Pacinan. Paku Buwono tak berdaya menghadapi koalisi elit antara elit bangsawan oposan dengan para pengusaha Cina. Dia terpaksa menyingkir ke Gunung Lawu.
Para pejuang Mataram merasa tiba waktunya untuk mengusir VOC keluar daribumi Mataram. Mereka beraliansi dengan etnis Tionghoa. Bahkan Pakubuwono sempat ikut membela perlawanan ini. Tetapi VOC dengan bantuan Panembahan Cakraningrat dari Madura mampu mematahkan kepungan pasukan Jawa dan Madura. Kartasura pun kembali diduduki Belanda. Hal ini membuat Paku Buwono bimbang dan kemudian malah justru memihak kepada Belanda. Sunggguh keputusan yang menyesakkan lingkungan Kraton Surakarta.
Di tempat terpisah, para pendukung cucu Sunan Mas, menobatkan Raden Mas Garendi sebagai susuhunan yang sah. Kemudian mereka bersama dengan orang – orang Tionghoa menggempur kraton. Sayang, serangan ini dapat dipatahkan Belanda. Sebagai gantinya Paku Buwono II harus membayar mahal. Kekuasaan Belanda terpaksa ia terima diseluruh Mataram dan kepada VOC diberi hak untuk mencetak uang sendiri di Jawa.
Sesudah itu muncul lagi perlawanan yang dipimpin oleh Raden Mas Said yang dibantu adik Paku Buwono II, Pangeran Mangkubumi. Daerah yang mereka kuasai semakin luas, terlebih setelah Paku Buwono II wafat pada tahun 1749 dan digantikan oleh putranya, Paku Buwono III. Perjuangan Pangeran Sambernyowo (nama lain Raden Mas Said) terus berlanjut hingga 17 Maret 1757 di Salatiga. Adapun sejak tahun 1744, sebenarnya para raja Jawa secara riil tidak efektif lagi kekuasannya. Aktivitas politik sehari – hari diambil alih oleh Pepatih Dalem yang harus loyal kepada VOC, karena mereka telah diangkat, disumpah, dan digaji oleh VOC.
Pertikaian politik Kraton Mataram telah menghabiskan daya dan dana yang tidak sedikit jumlahnya. Stabilitas politik dan keamanan yang kacau benar – benar mengganggu jalannya roda perekonomian. Raja dan para bangsawan terkuras keuangannya, sehingga terlilit hutang berlipat. Puncaknya adalah ketika pada 11 Desember 1749, Paku Buwono menyerahkan Kraton Mataram secara total kepada VOC, dengan Gubernur Jenderal Gustaf Willem Baron van Imhof. Atau dengan kata lain, sejak saat itu, Mataram telah “dijual” kepada VOC.
Peristiwa ini tak ayal membuat para patriot Mataram kebakaran jenggot. Pangeran Mangkubumi beserta barisan oposisi kesultanan menggugat isi perjanjian tersebut. Situasi semakin panas dan menegangkan. Kerusuhan sosial terjadi di mana – mana. Raja Mataram yang baru, Paku Buwono III masih melanjutkan kebijakan politik pendahulunya. Ketegangan semakin mengerucut antara Paku Buwono II yang dibantu VOC melawan Pangeran Mangkubumi yang beraliansi dengan Raden Mas Said. Perang terbuka maupun gerilya terjadi selama 6 tahun (1749-1755). Perang yang berkepanjangan ini melelahkan kedua belah pihak. Di kisaran tahun 1754, mulai ada beberapa upaya perundingan yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Perundingan – perundingan ini bisa terlaksana atas prakarsa gubernur wilayah pesisir timur laut yang baru, Nicolaas Hartingh, melalui seorang penengah berkebangsaan Turki, Syeh Ibrahim[3]. Akhirnya, pada 13 Februari 1755, dicapai kesepakatan antara Pangeran Mangkubumi dengan Paku Buwono III atau yang lebih kita kenal saat ini dengan Perjanjian Giyanti.
Pokok dari perjanjian tersebut adalah Palihan Nagari. Yakni membelah Mataram menjadi dua. Susuhunan Paku Buwono III mendapat wilayah dengan ibukota Surakarta. Pangeran Mangkubumi mendapatkan bagiannya yang beribu kota di Yogyakarta. Pembagian ini diikuti dengan pembagian budaya. Budaya Surakarta dan Budaya Yogyakarta seolah bersaing keras yang tidak jarang menciptakan perselisihan.
Untuk kesekian kalinya, sungguh hebat peranan yang dipegang oleh para gubernur dalam pemerintahan kolonialis Belanda selama ratusan tahun silam. Betapa pandainya pimpinan VOC dan para pimpinan pemerintahan belanda mendalangi perang saudara di antara para penguasa lokal dengan menyebarkan benih – benih perpecahan secara terus – menerus. Bila pada masa Paku Buwono II, van Hoffendorf menyukai cara keras, maka Hartingh lebih memilih untuk menggunakan cara yang lebih halus.
Cara hartingh membagi Mataram menjadi dua, yang berarti ada dua raja yang masih memiliki hubungan kekeluargaan ini juga bukti betapa pandai ia melepas umpan. Tujuannya tentu tak lain dan tak bukan adalah agar selalu ada benih pertengkaran di antara para raja. Misalnya, ada daerah – daerah yang sengaja dimasukkan sebagai wilayah Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, tetapi wilayahnya terselip di tengah – tengah area Kasunanan Surakarta atau sebaliknya. Tentu hal macam ini dalam jalannya roda pemerintahan sering mempertajam hubungan. Ketika ada perselisihan, munculah gubernur VOC yang akan tampil sebagai pendamai. Tetapi, ada saja keuntungan yang mereka peroleh (Kustiniyati, 1982).[4]


DAFTAR PUSTAKA
Djoko Dwiyanto. Kraton Ngayogyakarta, Sejarah, Nasionalisme, dan Tekad Perjuangan. Paradigma Indonesia.
M.C Ricklefs. 2011. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.




[1] Djoko Dwiyanto, “Kraton Ngayogyakarta, Sejarah, Nasionalisme, dan Tekad Perjuangan”, (Paradigma Indonesia), hal. 7
[2]Ibid, hal. 8
[3]M.C Ricklefs, “Sejarah Indonesia Modern”, (Yogyakarta: Gadjah Mada Unversity Press, 2011), hal. 149
[4]Op cit, hal. 13

Jumat, 06 September 2013

Peperangan Bang Rajan versus Burma

Bang Rajan versus Burma
            Pada tahun 1767, tentara Burma memasuki Siam. Burma memiliki ambisi melakukan invasi kedaerah tersebut yang pada saat itu dipimpin oleh Raja Mang Ra. Pasukan Burma mengalami sedikit hambatan ketika memasuki daerah Siam dekat dari ibukota. mereka melakukan perampokan dan memperbudak bangsa Thai pada saat itu dan kemudian mereka bunuh.
Kemudian muncul perlawanan pertama dari Bang Rajan ketika sekelompok masyarakat siam dari berbagai desa - terutama Sibuathong, Krap dan Pho Thale - yang dipimpin oleh Nai Thaen, Nai Choti, Nai Dalam, Nai Muang, Dok Nai dan Nai Thong Kaeo. Mereka bertemu dengan Burma untuk menukar harta benda mereka dengan warga desa yang disandera, pertempuran terjadi dan orang-orang birma dapat di kalahkan yang pada saat itu berjumlah dua puluh orang.
Bang Rajan dicatat sebagai yang idealnya terletak: "Sebuah tempat di mana bahan makanan yang berlimpah ... sebuah desa di dataran tinggi dan ... sulit bagi musuh untuk mendapatkan."
Selain situasi ideal secara geografis dan posisinya sebagai fokus dari mereka melarikan diri dari Burma, Bang Rajan memiliki titik awal pertempuran sekitar 400 pria yang terpilih lima pemimpin di antara mereka sendiri dan bekerja pada pendirian benteng. Ada juga seorang pendeta Buddha, Thammachot, yang telah diundang ke biara desa tempat ia ditahan di penghormatan besar oleh penduduk, yang percaya dia memiliki pengetahuan yang besar dan kekuasaan berkaitan dengan mantra, pesona dan mantra lainnya.
Para pemimpin Burma berkemah di Mueang Wiset Chaichan, menyadari pembantaian tentara mereka oleh orang Siam yang melarikan diri ke Bang Rajan dan mengirim pasukan kecil sekitar 100 orang untuk menangkap mereka. Burma yang terkejut ketika mereka diserang saat beristirahat dan hampir seluruhnya musnah oleh kekuatan yang dipimpin oleh Nai Thaen, yang telah terpilih menjadi pemimpin Bang Rajan.
Berita kemenangan ini menyebar dengan cepat di seluruh negeri dan mengakibatkan lebih banyak orang keluar dari persembunyian untuk bergabung dengan gerakan perlawanan, pembengkakan jajaran berkemah dalam Bang Rachan sekitar 1.000 pria. Gaya amatir itu terorganisasi dengan baik di sepanjang garis dari unit militer profesional tetapi hal ini kurang di dukung dengan peralatan perang yang mereka miliki, khususnya senjata api.
Menyadari bahwa ia menghadapi perlawanan berat, pemimpin Burma di Wiset Chaichanw meminta bala bantuan sebelum mengirim kekuatan lain terhadap desa. Dia telah meremehkan mereka, karena mereka berhasil mengusir tentara kedua sekitar 500 serta kekuatan ketiga, lagi lebih besar dalam jumlah dan di bawah pemimpin baru.
Sebuah peristiwa penting terjadi selama serangan keempat desa dengan kekuatan 1.000 Burma di bawah Surin Chokhong. Gaya ini tidak segera dikalahkan oleh desa Siam namun komandan mereka tewas dan setelah banyak pertempuran penduduk desa mundur. Pada titik ini kecerobohan dari Burma muncul sekali lagi karena mereka menurunkan penjaga mereka untuk mulai menyiapkan makanan dan merawat mayat komandan mereka. Melihat hal ini, penduduk desa segera kembali ke lapangan dan kekuatan Burma terkejut adalah benar-benar diarahkan dan kehilangan sebagian besar tenaga kerja yang karena mengejar ditentukan oleh desa Siam. Sementara menang lagi, pemimpin Bang Rajan, Nai Thaen, ditembak di lutut - suatu peristiwa yang akan memiliki konsekuensi serius bagi perlawanan seperti itu berarti ia tidak lagi mampu melawan atau memimpin dari depan.
Setelah pertempuran keempat melihat kedua belah pihak menerima bala bantuan, dengan Bang Rajan memilih pemimpin baru untuk menggantikan Nai Thaen - seorang pejuang bernama Nai Chan yang terkenal karena keganasan dan "kumis meremang". Nasib Bang Rajan tetap baik di bawah Nai Chan, yang melihat kekuatan mereka meningkat dan mencapai tingkat yang semakin besar organisasi, dan reputasi mereka tumbuh sampai batas sehingga Burma datang untuk takut kepada mereka dan perampok memiliki pasukan kesulitan merekrut bagus untuk mengirim melawan desa.
Setelah tujuh serangan dan tujuh kekalahan, pasukan kedelapan, di bawah komandan Mon yang tinggal di Siam, menawarkan diri untuk mengambil tentara dan berjanji untuk mengalahkan Bang Rachan. Apa yang mengatur komandan ini terpisah dari para pemimpin Burma sebelumnya pengetahuan tentang tanah dan Siam dan kurangnya arogansi - dia tidak meremehkan desa dan disesuaikan taktik merugikan mereka. Dia berkembang perlahan-lahan menuju desa dengan membangun serangkaian benteng sepanjang rute dan, ketika dihadapkan dengan penduduk desa, menolak untuk berperang kecuali dari dalam benteng.
Kurangnya artileri sekarang melumpuhkan bagi penduduk desa, karena mereka tidak bisa menghancurkan benteng yang dibangun oleh Burma dan menderita korban besar dari serangan infanteri atas benteng. Salah satu pemimpin Siam - Nai Pria Thong - menjadi mabuk dan marah, dan, di atas kerbau, mengambil kekuatan laki-laki dan menyerang Burma dalam apa tetap menjadi salah satu ikon cerita dan gambar dari legenda desa. Dia tewas dan anak buahnya diarahkan - pertama kalinya Burma telah dikalahkan di desa.
Bang Rajan dikirim bantuan dari Ayutthaya dalam bentuk meriam mereka bisa digunakan melawan benteng, tapi ibukota ditampilkan sifat malu-malu khas strategi seluruh perang dan menolak permintaan tersebut. Namun, satu orang, Phraya Rattanathibet, dikirim untuk membantu mereka membentuk senjata mereka sendiri. Sayangnya untuk desa, senjata mereka melemparkan retak dan tidak berguna. Segera setelah ini, Nai Kemudian meninggal karena luka pada lututnya dan pemimpin besar lainnya, Nai Chan dan Khun San meninggal karena luka yang diambil ketika mencoba untuk mengambil benteng Burma.

Desa Bang Rajan putus asa dan mereka menghadapi pengepungan oleh Burma dalam bentuk tembakan meriam, menara pengepungan dan terowongan di bawah dinding desa. Akhirnya desa itu diserbu meskipun perlawanan sampai akhir - lima bulan setelah tindakan pertama perlawanan dan tindakan penting satunya oposisi sukses oleh kekuatan Siam dalam perang ditandai dengan kegagalan Ayutthuya, tentara profesional dan Jenderal nya.

Biodata Boris Yeltsin

Boris Yeltsin

Boris YeltsinNama lengkap : Boris Yeltsin
 Alias               : Boris Nikolaevich  Yeltsin
Tempat lahir    : Burtka, Oblast, Rusia
Tanggal lahir   : Minggu, 1 Februari 1931
Warga negara  : Rusia

Pendahuluan
Boris Yeltsin yang lahir dari keluarga petani miskin. Walaupun berasal dari kalangan bawah, ia mempunyai sifat yang pemberani,teguh dan sangat kritis terhadap sesuatu hal. Ia yang mempunyai tugas untuk membantu kedua orang tuanya dan adik-adiknya dalam kelangsungan hidup atau dalam memenuhi kebutuhan hidup. Ketika masih dibangku sekolah, Boris yang berani mengkritik salah seorang guru yang melakukan penyimpangan dan berani mengajukan banding,serta berpindah-pindah sekolah. Selesai masa studinya, ia mulai bekerja di sebuah industri konstruksi di Sverdlovsk. Mengenai karir politiknya mulai berkembang setelah memasuki atau mengikuti partai komunis Uni Soviet. Sikap dari seorang Boris pun yang mempunyai tekad dan keberanian sangat besar dalam mengambil keputusan. Sikap atau tindakan Boris  yang luar biasa itu seperti pada masa pemerintahan joseph stalin.
Boris Yeltsin, seorang presiden Rusia yang menjabat pada tahun 1991, ia adalah salah satu pemimpin politik yang paling kompleks pada saat itu. Boris adalah Seorang pemimpin Partai Komunis lama dan ia salah satu orang pemimpin penting dalam reformasi (perbaikan sosial) gerakan 1980-an dan 1990-an. Yeltsin dianggap sebagai pahlawan rakyat, sebagai simbol perjuangan Rusia untuk membangun demokrasi, dan sebagai sosok diktator (penguasa semua-kuat). Boris Yeltsin mempunyai peran penting dalam bubarnya Uni Soviet ,serta perubahan Rusia yang kini menyerap ekonomi pasar. Pada tahun 1992, Boris merebut kekuasan atas kedaulatan dari Rusia. Boris juga menyelesaikan masalah krisis konstitusional. Namun, pada tahun 1996 Boris hampir mengalami kegagalan dalam melanjutkan era pemerintahannya karena kondisi kesehatannya.

Masa kecil Yetsin dan keluarga
            Boris Nikolaevich Yeltsin dilahirkan dalam sebuah keluarga kelas pekerja Rusia pada tangal 1 Februari 1931 di desa Siberia kecil Butko. [1]Boris Yeltsin,putra petani miskin di daerah ura. Putra dari Nikolai dan Klavdia Yeltsin. Boris mempunyai seorang adik laki-laki yang bernama Mikhail dan seorang adik perempuan yang bernama Valya. Keluarga Yeltsin tinggal di komunal atau kelompok situasi pertama di sebuah peternakan,kemudian dilokasi konstruksi dimana ayahnya bekerja. Boris Yeltsin kecil bersekolah di Pushkin High School di Berezniki Perm Krai. Pada tahun 1949,Yeltsin melanjutkan sekolah di Ural State technical University dengan studi Konstruksi dan lulus pada tahun 1955. Di tahun 1955-1957,dia bekerja sebagai mandor untuk bangunan Uraltyazhtrubztroy. Yeltsin tinggal dan bekerja di Siberia.[2]
Awal kehidupan Boris,seperti kebanyakan orang sebangsanya di tahun 1930-an dan 1940-an penuh dengan kesulitan hidup. Ketika itu,Boris yang melihat kondisi keluarganya dan ia  sebagai anak tertua memiliki tanggung jawab untuk membantu orang tuanya dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Saat Boris masih dibangku sekolah, ia mempunyai kemauan yang keras dan sering berpindah-pindah sekolah. Boris pernah diusir dari sekolah ketika ia mengkritik perilaku kasar dari guru wali kelasnya. Keputusan itu bagi yeltsin sangat merugikan, akhirnya ia mengajukan banding. Setelah penyelidikan lebih lanjut,akhirnya seorang guru yang melakukan tindakan kekerasan tersebut dipecat. Selama tahun terakhir di SMA,Yeltsin terserang demam tifoid. Penyakit mengerikan yang dapat menyebabkan demam dan gejala lain,sehingga mudah menyebar dan membuat Yeltsin harus belajar di rumah. Saat terserang penyakit ini hak Boris untuk mengambil ujian akhir ditolak,karena  dia tidak menghadiri sekolah. Boris yang tidak menerima keputusan itu,akhirnya mengajukan banding dan Boris pun menang. Tindakan yang luar biasa dari Boris mengingatkan pada masa pemerintahan Joseph Stalin (1879-1953), suatu periode ketika pemerintah memiliki benteng yang kuat bagi warganya.
Yeltsin lulus dari Institut Politeknik Ural sebagai seorang insinyur. Ia kemudian menikah dengan Naina istrinya pada usia muda dan mereka memiliki dua anak perempuan. Awalnya Yeltsin bekerja di sebuah industri konstruksi di Sverdlovsk. Tahun 1957-1963 Boris bekerja di Sverdlovsk dan di promosikan menjadi pengawas pembanguna dari Direksi Bagunan Yuzhgorstroy. Di tahun 1963, ia menjadi kepala mekanis. Dari tahun 1965 karier dibidang kontruksi semakin menanjak dan akhirnya menjadi sekretaris pertama dari komite CPSU Sverdlovsk Oblast. Kemudian pindah ke manajemen industri dan akhirnya memulai karier di Partai Komunis.

Aktivitas Politik
            Karier politik Yeltsin berkembang saat dia menjadi bagian dari partai komunis Uni Soviet. Dia menjadi anggota dari periode 17 Maret 1961 dan 13 Juli 1990. Di partai kominis ini Boris dijadikan sekretaris pertama kalinya di Sverdlovks. Yeltsin bergabung dengan Partai Komunis pada usia tiga puluh. Usia yang relatif terlambat untuk seorang pria dengan impian politik. Pada masa Gorbachev,Yeltsin mendapat banyak peluang untuk terjun dalam dunia politik. Pada 11 Maret 1985,Yeltsin diundang ke Moskow untuk mengambil posisi sebagai Kepala Departemen Pembangunan. Pada tahun 1985 Mikhail Gorbachev S. (1931 -), sekretaris umum baru dari Partai Komunis Uni Soviet (PKUS), membawa Yeltsin ke Moskow untuk mengangkatnya sebagai sekretaris industri konstruksi. 23 Desember 1985, Yeltsin menjadi sekertaris pertama dari Partai Komunis Moskow. Dalam setahun ia diangkat menjadi kepala Partai Komunis Moskow. Delapan belas bulan kemudian menjadi masa pencapaian dan frustrasi, ditandai dengan pemecatannya sebagai calon anggota Politbiro (anggota atas Partai Komunis) dan sekretaris pertama Partai Moskow. 10 september 1987, Yeltsin melakukan tindakan yang sangat mengejutkan dengan mengundurkan diri dari Politburo dari posisinya sebagai sekertaris. Ditolak mentah-mentah oleh Gorbachev, Yeltsin mencoba melakukan bunuh diri tapi gagal. Sebelum perawatannya di rumah sakit selesai dari usaha bunuh diri, Yeltsin diantar ke gedung parlemen Moskow untuk menjalani prosedur pemecatan resmi. Keputusan ini membuatnya dikucilkan secara social dan politik dan Yeltsin pun jatuh dalam pengaruh alcohol.
Yeltsin menyukai Moskow pada awalnya dan ia mengkritik hak istimewa dari elit politik kota (kelas sosial tertinggi). Sebagai seorang pemimpin politik, Yeltsin sering bepergian ata bekerja dengan menggunakan transportasi umum sehingga dia dapat berbaur dengan masyarakat. Sebuah perilaku yang tidak biasa di kalangan elite Soviet, yang biasanya bepergian dalam limusin bertirai. Yeltsin mengkritik langkah reformasi yang dikenal sebagai perestroika dan perilaku beberapa anggota Politbiro. Yeltsin kemudian mengambil langkah mundur sebagai sekretaris dari Partai Moskow, dan ia mengundurkan diri dari Politbiro. Yeltsin tetap menjadi anggota partai, dan Gorbachev mengangkatnya menjadi wakil menteri dalam industri konstruksi, yang merupakan daerah di mana ia memiliki pengalaman puluhan tahun di bidang ini.
Pada akhir 1980-an, setelah perestroika hubungan pribadi Yeltsin dengan Gorbachev berantakan karena krtik-kritik yang dilakukannya. Pada pemilu tahun 1989, Yeltsin terkejut karena ia terpilih sebagai anggota penting ditubuh parlemen Soviet Agung dengan menerima 90 persen suara. Gorbachev terpilih (ketua) presiden Uni Soviet oleh parlemen baru. Di Moskow selama tahun 1989 dan 1990, Yeltsin menjadi seorang pahlawan rakyat di mana banyak orang meneriakkan "Yeltsin, Yeltsin". Yeltsin juga terpilih menjadi anggota parlemen Rusia. Mei 1990 ,dia dipilih sebagai ketua (presiden) dari Republik Rusia. Belakangan tahun itu, Pada bulan Juli  Yeltsin meninggalkan Partai Komunis. Tahun berikutnya, ia terpilih sebagai presiden dari Federasi Soviet Rusia Republik Sosialis, pemimpin pilihan rakyat pertama di Rusia.
Kemudian ia dihadapkan dengan ekonomi yang stagnan, badan legislatif bermusuhan, suatu percobaan kudeta dan bencana militer di Chechnya, prospek Mr Yeltsin tampak suram di 1996 pemilu. Tapi dia menggelar comeback lain, mengalahkan penantang komunis Gennady Zyuganov dalam limpasan Juli.
Pada bulan November 1996, Yeltsin menjalani operasi bypass jantung empat kali lipat dan terbatas pada rumah sakit selama berbulan-bulan, masalah kesehatan menjadi perhatian seluruh kepresidenannya. Dia menjadi semakin tidak populer di masa jabatannya yang kedua, saat ia dan rombongan keluarganya menjadi tercemar oleh tuduhan korupsi dalam Rusia yang terganggu oleh kapitalisme baron perampok. Tapi tempatnya dalam sejarah terjamin sebagai orang yang melihat dari penjaga tua Komunis pada saat yang kritis.

Presiden Republik Rusia
Pada tanggal 4 Maret 1990, Yeltsin diangkat menjadi perwakilan dari Kongres Perwakilan Rakyat Rusia. Pada 29 Mei 1990, Yeltsin menjadi pemimpin dari Presidium of the Supreme Soviet. 12 Juli 1990, Yeltsin mengundurkan diri dari CPSU dan kembali mendapat cemohan dari pendukungnya. 12 Juni 1991, Yeltsin memenangkan suara dalam pemilihan umum presiden. 18 Juni 1991, pada saat kudeta pemerintahan Gorbachev, Yeltsin memberikan pidato dari atas tank yang membuatnya berhasil mendapat simpati dari rakyat Rusia. 6 November 1991, Yeltsin mengisukan larangan atas kegiatan yang bersifat komunis di tanah Rusia.
Pada bulan Juni 1991, Republik Rusia mengadakan pemilihan umum pertama untuk presiden, dan Yeltsin mengalahkan enam lawan untuk memenangkan kursi kepresidenan. Ia memenangkan suara mayoritas dan juga mendapatkan banyak simpati. Sebagai presiden dia menyatakan Republik Rusia independen dari Uni Soviet. Yeltsin sebagai presiden Republik Rusia (RSFSR) dan Gorbachev sebagai presiden Uni Soviet setuju untuk bekerja sama dalam reformasi ekonomi, pembalikan sejak hubungan mereka berantakan pada tahun 1987. Pada era Yeltsin adalah masa dramatis dalam sejarah Rusia,karena pada waktu itulah terjadi perubahan politik revolusioner,demokrasi, juga masalah besar dalam politik dan sosial, salah satu di antaranya adalah korupsi yang merajalela dan terbuka.[3] Namun, pada tanggal 19 Agustus 1991, delapan partai konservatif dan pemimpin pemerintahan memimpin kudeta (pengambilalihan) terhadap Gorbachev berlibur. Yeltsin memimpin oposisi dramatis untuk kudeta dan dijamin kembali Gorbachev ke Moskow.

Sebagai buntut dari penyelamatan Gorbachev, Yeltsin konsolidasi (bersatu) kekuasaannya sendiri. Yeltsin memimpin gerakan untuk membubarkan parlemen Rusia dan melarang Partai Komunis di tanah Rusia. Ini bertindak semakin melemah basis kekuatan Gorbachev. Pada musim gugur tahun 1991 Yeltsin dan para pemimpin republik lainnya menyatakan kemerdekaan republik masing-masing, dan pada bulan Desember presiden Rusia, Ukraina, dan Belarus (Belarusia) membentuk Commonwealth of Independent States (CIS), menyatakan mereka tidak lagi mengenali Uni Soviet sebagai tanggal 1 Januari 1992. Delapan republik lain bergabung CIS, sedangkan empat republik menjadi benar-benar independen. Gorbachev mengundurkan diri sebelum akhir tahun, dan pada 1 Januari 1992, Uni Soviet tidak ada lagi. Yeltsin, yang pada tahun 1987 telah diberhentikan dari pimpinan Soviet, menjadi kepala pasca-Soviet Rusia, yang terbesar dari negara-negara pengganti Soviet.
Pada tahun 2001 Yeltsin diberi penghargaan tertinggi Rusia dikenal sebagai "Orde Layanan ke Tanah Air, Gelar Pertama." Presiden Putin dihormati Yeltsin dengan penghargaan ini untuk perannya dalam mengubah masa depan Rusia dengan membantu mengakhiri Uni Soviet.








Daftar Pustaka

Aron, Leon. Yeltsin: A Life Revolusioner. New York: Tekan St Martin, 2000.
Ayer, Eleanor H. Boris Yeltsin: Man Rakyat. New York: Dillon Press, 1992.
Daniels, Robert. Akhir dari Revolusi Komunis. New York: Routledge, 1993.
Miller, Calvin Craig. Boris Yeltsin: Presiden Pertama Rusia. Greensboro, NC: Morgan Reynolds, 1994.
Morrison, John. Boris Yeltsin: Dari Bolshevik ke Demokrat. New York: Dutton, 1991.
Yeltsin, Boris. Terhadap Grain: Otobiografi. New York: Summit Books, 1990



[1] Boris Yeltsin. Terhadap Grain: Otobiografi.( New York: Summit Books, 1990).hlm.

[2] Ibid.,hlm.
[3] Miller, Calvin Craig. Boris Yeltsin: Presiden Pertama Rusia. (Greensboro, NC: Morgan
  Reynolds, 1994).

Pers dalam Kebebasan berpendapat

Pers dalam Kebebasan berpendapat Era Reformasi
Oleh :
Andrian eka Yulianto (12407141030)
 Perjalanan demokrasi di Indonesia masih dalam proses untuk mencapai suatu kesempurnan. Wajar apabila dalam pelaksaannya masih terdapat ketimpangan untuk kepentingan Politik, Ekonomi penguasa semata. Penguasa hanya mementingkan kekuasaan semata, tanpa memikirkan kebebasan rakyat untuk menentukan sikap dan perannya. Sejatinya demokrasi sudah muncul pada zaman pemerintahan presiden Soekarno yang dinamakan model (Demokrasi Terpimpin), lalu berikutnya di rezim pemerintahan Soeharto adalah model (Demokrasi Pancasila). Namun, alih-alih mempunyai suatu pemerintahan yang demokratis, model demokrasi yang ditawarkan dari dua rezim awal pemerintahan Indonesia tersebut malah memunculkan pemerintahan yang otoritarian, yang membelenggu kebebasan politik rakyat.
Begitu juga kebebasan pers di Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soekarno dan masa pemerintahan Presiden Soeharto sangat dibatasi oleh kepentingan pemerintah. Pers dipaksa untuk memuat setiap berita harus tidak boleh bertentangan dengan pemerintah, di era pemerintahan Soekarno dan Soeharto, kebebasan pers ada, tetapi lebih terbatas untuk memperkuat status quo, ketimbang guna membangun keseimbangan antar fungsi eksekutif, legislatif, yudikatif, dan kontrol publik (termasuk pers). Karenanya, tidak mengherankan apabila kebebasan pers saat itu lebih tampak sebagai wujud kebebasan (bebasnya) pemerintah, dibanding bebasnya pengelola media dan konsumen pers, untuk menentukan corak dan arah isi pers tersebut.
Pasca tahun 1999 lalu, atau tepatnya pasca kelahiran UU no 40 tahun 1999 tentang pers, pers Indonesia menerima kado yang sangat didamba selama ini yaitu kebebasan berpendapat. Kado ini jelas begitu istimewa bagi masyarkat khususnya pelaku dunia pers seperti wartawan, karena siapa pun tahu selama 30 tahun terakhir ini praktis kebebasan berpendapat dan berpolitik, apalagi untuk pers, merupakan komoditi yang amat mahal di negeri ini. Pers Di Indonesia mengalami perubahan yang luar biasa dalam mengekspresikan kebebasan.[1] Fenomena itu ditandai dengan munculnya media-media baru cetak dan elektronik dengan berbagai kemasan dan segmen-segmen. Keberanian pers dalam mengkritik dan memantau penguasa juga menjadi ciri baru pers Indonesia. Pers yang bebas aktif dan independen merupakan salah satu komponen yang paling esensial dari masyarakat yang demokratis, sebagai prasyarat bagi perkembangan sosial dan ekonomi yang baik. Keseimbangan antara kebebasan pers dengan tanggung jawab sosial menjadi sesuatu hal yang penting. Hal yang pertama dan utama, perlu dijaga jangan sampai muncul ada tirani media terhadap publik.[2] Sampai pada konteks ini, publik harus tetap mendapatkan informasi yang benar, dan bukan benar sekadar menurut media. Pers diharapkan memberikan berita harus dengan se-objektif mungkin. Untuk melihat bagaimana isi dan esensi yang terkandung dari media itu sendiri yaitu, ada tiga pendekatan untuk menjelaskan isi media: 
1.      Pendekatan Politik Ekonomi (media lebih ditentukan oleh kekuatan2 ekonomi dan politik di luar pengelolaan media).
2.      Pendekatan Organisasi ; Pendekatan ini bertolak belakang dengan pendekatan ekonomi politik.(ini justru melihat pengelola media sebagai pihak yang aktif dalam proses pembentukan dan produksi berita).
3.      Pendekatan Kulturalis ; pendekatan ini merupakan gabungan antara pendekatan ekonomi politik dan pendekatan organisasi. (proses produksi berita disini dilihat sebagai mekanisme yang rumit yang melibatkan faktor internal media (rutinitas organisasi media) sekaligus juga faktor eksternal di luar diri media.[3]

Pada Era reformasi ini pada hakikatnya dapat dijadikan momentum para wartawan media cetak atau pers untuk mengembangkan kebebasan pers yang sehat. Namun dalam praktik jurnalistik media, masih ada wartawan yang tidak melihat peluang masa reformasi sebagai kondisi yang kondusif. Jurnalisme, menurut Kovach dan Rosenstiel (2006: 4) adalah menyediakan sesuatu yang unik untuk sebuah budaya – informasi yang independent, dapat diandalkan, akurat, dan komprehensif, yang dibutuhkan anggota masyarakat untuk bebas. Disini konsepnya, sebuah jurnalisme yang diminta untuk menyediakan sesuatu yang berbeda dengan hal itu akan meruntuhkan budaya demokrasi. Hal inilah yang terjadi ketika pemerintahan mengontrol berita, sebagaimana halnya Nazi Jerman atau Uni Soviet. Kemudian melihat lagi di tempat seperti Singapura, di mana berita dikontrol untuk menumbuhkan kapitalisme namun mencegah partisipasi dalam kehidupan masyarakat. Sesuatu yang serupa dengan hal ini mungkin punya akar di Amerika Serikat dalam bentuk komersial yang lebih murni, seperti saat media pemberitaan yang dimiliki korporasi besar dipakai untuk mempromosikan produk-produk perusahaan konglomerat yang menjadi induknya, untuk mendukung lobi yang tidak kentara ataupun persaingan usaha, atau yang ditemalikan dengan iklan untuk mendongkrak keuntungan. Masalahnya bukan hilangnya jurnalisme semata. Taruhannya, apakah anggota masyarakat memiliki akses terhadap informasi independen yang memungkinkan mengambil bagian dalam mengatur diri sendiri. Dari fakta itu, dalam realitasnya wartawan mengkonstruksikan informasi menjadi berita memandang dari sudut kepentingannya yang juga dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan di luar wartawannya. Kebebasan pers dimaknai dengan berbagai kepentingan media.
Sementara itu, kondisi kebebasan pers berperan penting dalam membangun proses transisi menuju demokrasi di Indonesia. Sejak menikmati kebebasan pada 1998, komunitas pers terus berupaya meningkatkan kinerja dan profesionalisme-nya (Dewan Pers, 2006: 1). Dengan praktik kebebasan pers, justru membuka peluang bagi kalangan pebisnis mengeksploitasi pornografi, kekerasan dan mistik. Pebisnis melahirkan media baru cenderung berorientasi pada keuntungan finansial dan mengabaikan fungsi ideal pers sebagai sarana komunikasi yang sehat. Dalam kebutuhan ini, peran wartawan yang memahami dan mempraktikkan kebebasan pers yang kreatif dan dalam koridor hukum dan peraturan yang berlaku, akan dapat memberi warna yang hakiki pada media pers. Praktik kebebasan pers pada Era Reformasi dalam kenyataannya masih banyak menghadapi kendala. Euforia kebebasan berpendapat dan kebebasan berorganisasi, ditanggapi dengan banyaknya diterbitkan suratkabar atau media. Fenomena euphoria kebebasan berdampak pada kualitas pelaksanaan kebebasan pers.
Keterbelengguan ini seperti yang dinyatakan oleh Veven Wardhana (wartawan kompas) paling tidak bermuara pada dua permasalahan pokok. Pertama, karena struktur politik yang amat otoriter terhadap distribusi informasi. Kedua, terlalu besarnya pengaruh pemilik modal besar dalam industri pers (barrier to entry) sehingga struktur oligopoly secara tidak langsung terbentuk. Praktis, selama itu pula pers belum mampu berkontribusi banyak dalam proses demokratisasi.Maka dari itu pula, struktur otoriter yang merupakan warisan penjajah Belanda ini harus disingkirkan karena tak lagi relevan di era demokrasi seperti ini.[4]
Bagi banyak pihak momentum ini merupakan secercah cahaya cerah bagi dunia pers Indonesia, momentum yang diharapkan mampu mendorong pers lebih bebas dan independen dalam menjalankan berbagai fungsinya. Tentunya sembari berharap pers akan lebih mampu memposisikan dirinya sebagai salah satu pilar demokrasi, melalui fungsi kontrol sosialnya.
Diskursus mengenai bagaimana pers Indonesia berkembang pesat pasca 1999 tentu tidak akan jauh dari realita lapangan akan ‘ledakan’ kuantitas perusahaan pers. Hal ini tak dapat dipungkiri lagi merupakan imbas dari kebebasan berpolitik yang diberikan oleh pemerintah. Dimana kebebasan berpolitik, termasuk pula kebebasan pers, merupakan modal ideal dalam rangka tumbuh kembangnya budaya demokrasi di negeri ini.[5]
Namun, menurut Heru Sutadi dengan melihat realita sosial di lapangan bahwa dari empat fungsi pers yang ada, yaitu fungsi informasi, pendidikan, hiburan, kontrol sosial dan ekonomi, hanya fungsi kontrol sosial yang berkembang secara proporsional, sedangkan yang lainnya amat timpang atau bahkan tidak berkembang sama sekali. Maka, istilah kebebasan pers yang kebablasan, menurut saya, dapat dipertanggungjawabkan adanya.[6]
Fenomena kebablasan pers saat ini setidaknya dapat dipandang dari beberapa kasus seperti pornografi dan pemberitaan yang provokatif yang dihadirkan media. Kasus pornografi mungkin tak dapat kita lepaskan dari terbitnya Majalah Playboy medio 2006 lalu, penerbitan yang juga disambut dengan begitu banyaknya pro-kotra intern masyarakat. Meski, Playboy akhirnya terbit jauh lebih soft ketimbang versi induknya di Amerika. Tetap saja,image Playboy sebagai media ‘porno’ tidak dapat ditutupi, itulah yang menjadi permasalahan. Selain itu, kasus pornografi pun menjerat sendiri Presiden Gus Dur, yang notabene mempelopori kebebasan pers. Lihat saja, pemberitaan foto rekayasa Gus Dur bersama Aryanti Sitepu, yang mengaku sebagai pacar gelap orang nomor satu di Indonesia itu, di atas ranjang disebarkan kepada khalayak. Kesemua hal tersebut sah-sah saja muncul di depan publik, tentu dengan berdalih kebebasan pers. Sedang, pemberitaan provokatif begitu mudahnya muncul seperti: Bush Babi Buta, Amerika Setan! atau berbagai gaya bahasa sarkastis yang mengibaratkan anggota DPR bagaikan ikan lele yang berebut kotoran, seringkali masih digunakan. Padahal sangat jelas, pers tidak boleh menyiarkan informasi atau gambar yang dapat dinilai menyinggung rasa kesopanan individu atau kelompok tertentu.[7]
Kedua kasus ini hanyalah segelintir kasus bagaimana pers Indonesia tak jarang telah melanggar dan melangkahi UU No. 40 Tahun 1999. Seharusnya, pasca reformasi yang ditandai pula lewat iklim kebebasan dan independensi pers, pers mampu menjadi salah satu pilar demokrasi bagi masyarakat. Salah satu caranya adalah dengan menerapkan tiga elemen dasar pers, yakni integritas intelektual, etik, moral dan religius. Karena ketiga aspek inilah yang diyakini mampu menjadi kontrol internal bagi pers itu sendiri.
Apabila fungsi internal masih belum cukup kuat untuk mengontrol pers menjadi institusi yang melahirkan produk berkualitas. Maka, fungsi eksternal harus diperkuat, salah satu caranya adalah dengan mendirikan ‘lembaga media watch’ yang benar-benar independen. Lembaga yang diharapkan dapat menjadi lembaga yang dapat mengontrol kebebasan pers, bukan untuk ‘mengebiri’, melainkan mengontrol pertanggungjawaban pers kepada masyarakat. Diharapkan ‘lembaga media watch’ ini dapat menyempurnakan pengawasan eksternal pers yang sebelumnya telah ada di tangan dewan pers, KPI, masyarakat dan organisasi pers.[8]
Setelah halangan struktural kebebasan pers berhasil disingkirkan, maka kebebasan pers itu semata-mata berhadapan dengan batas toleransi masyarakat. Opini publik lah yang akan membatasi, sejauh mana pers boleh bebas. Tidak bisa dielakkan bakal ada benturan kepentingan dan memunculkan ketidakpuasan satu pihak Ketika kebebasan berpendapat seseorang merugikan pihak lain, maka satu-satunya penyelesaian adalah melalui pengadilan—yang diharapkan bisa mengeluarkan keputusan yang bijaksana—setelah melalui perdebatan yang luas. Sayangnya, ditengah kegandrungan terhadap kebebasan yang menggebu saat ini, hukum belum siap mengantisipasinya--baik hukum untuk menggebuk pelaku kekerasan maupun menindak media yang kurang ajar. Akibatnya tirani masih bias, dan pers menjadi sasaran empuk untuk melampiaskan kejengkelan akan kebebasan. Situasi itu merupakan produk langsung dari hukum yang vakum. Bukan saja aparatnya sedang kehilangan wibawa, melainkan perangkat aturannya juga belum tersedia secara memadai. Oleh karena itu, pers Indonesia dituntut untuk bisa mengatur atau mengontrol sendiri (self regulated), sesama sejawat pers saling mengingatkan. Atau setidaknya mematuhi ketentuan yang diatur dalam kode etik pers, dan menempatkan lembaga semacam Dewan Pers menjadi “polisi” yang diikuti teguran atau peringatannya. Jika tidak, apa boleh buat, kontrol masyarakat, seperti pendudukan kantor media, akibat tidak puas atas pemberitaan pers bakal akan terus terjadi.
Kebebasan pers adalah sesuatu hal yang didamba semua pihak. Namun, mau tak mau kebebasan tersebut tetap harus berjalan pada koridor yang bertanggungjawab. Meski tak bertanggungjawab kepada negara, pers memiliki tanggungjawab yang lebih besar kepada publik. Publik harus dilayani sebaik mungkin secara seimbang dan proporsional berdasarkan empat fungsi pers yang telah disebutkan di atas,






Daftar Pustaka
Abar, Akhmad Zaini. 1966-1974 Kisah Pers Indonesia. Yogyakarta: Lkis. 1995
Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia. Vol. V/ Oktober 2000.
Sutadi, Heru. Kebebasan Pers = Kebablasan Pers. Koran Sinar Harapan, 9 Februari 2002.
Wardhana, Veven Sp. Poligami, Akbar Tandjung, dan Kebebasan Media. Koran Tempo, 28 Januari 2008.






[1] Akhmad Zaini Akbar. 1966-1974 Kisah Pers Indonesia. Yogyakarta: Lkis. 1995

[2] Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia. Vol. V/ Oktober 2000.
[3] Ibid.,
[4] Wardhana, Veven Sp. Poligami, Akbar Tandjung, dan Kebebasan Media. Koran Tempo, 28 Januari 2008.
[5]  Op.,cid..hal 65
[6] Sutadi, Heru. Kebebasan Pers = Kebablasan Pers. Koran Sinar Harapan, 9 Februari 2002