Pers dalam
Kebebasan berpendapat Era Reformasi
Oleh :
Andrian eka
Yulianto (12407141030)
Perjalanan demokrasi di Indonesia masih dalam
proses untuk mencapai suatu kesempurnan. Wajar apabila dalam pelaksaannya masih
terdapat ketimpangan untuk kepentingan Politik, Ekonomi penguasa semata.
Penguasa hanya mementingkan kekuasaan semata, tanpa memikirkan kebebasan rakyat
untuk menentukan sikap dan perannya. Sejatinya demokrasi sudah muncul pada
zaman pemerintahan presiden Soekarno yang dinamakan model (Demokrasi
Terpimpin), lalu berikutnya di rezim pemerintahan Soeharto adalah model
(Demokrasi Pancasila). Namun, alih-alih mempunyai suatu pemerintahan yang
demokratis, model demokrasi yang ditawarkan dari dua rezim awal pemerintahan
Indonesia tersebut malah memunculkan pemerintahan yang otoritarian, yang
membelenggu kebebasan politik rakyat.
Begitu juga kebebasan pers di Indonesia pada masa
pemerintahan Presiden Soekarno dan masa pemerintahan Presiden Soeharto sangat
dibatasi oleh kepentingan pemerintah. Pers dipaksa untuk memuat setiap berita
harus tidak boleh bertentangan dengan pemerintah, di era pemerintahan Soekarno
dan Soeharto, kebebasan pers ada, tetapi lebih terbatas untuk memperkuat status
quo, ketimbang guna membangun keseimbangan antar fungsi eksekutif, legislatif,
yudikatif, dan kontrol publik (termasuk pers). Karenanya, tidak mengherankan
apabila kebebasan pers saat itu lebih tampak sebagai wujud kebebasan (bebasnya)
pemerintah, dibanding bebasnya pengelola media dan konsumen pers, untuk
menentukan corak dan arah isi pers tersebut.
Pasca tahun 1999 lalu, atau tepatnya
pasca kelahiran UU no 40 tahun 1999 tentang pers, pers Indonesia menerima kado
yang sangat didamba selama ini yaitu kebebasan
berpendapat. Kado ini jelas begitu istimewa bagi masyarkat khususnya
pelaku dunia pers seperti wartawan, karena siapa pun tahu selama 30 tahun
terakhir ini praktis kebebasan berpendapat dan berpolitik, apalagi untuk pers,
merupakan komoditi yang amat mahal di negeri ini. Pers Di Indonesia mengalami perubahan yang luar biasa dalam
mengekspresikan kebebasan.[1] Fenomena
itu ditandai dengan munculnya media-media baru cetak dan elektronik dengan
berbagai kemasan dan segmen-segmen. Keberanian pers dalam mengkritik dan
memantau penguasa juga menjadi ciri baru pers Indonesia. Pers yang bebas aktif
dan independen merupakan salah satu komponen yang paling esensial dari
masyarakat yang demokratis, sebagai prasyarat bagi perkembangan sosial dan
ekonomi yang baik. Keseimbangan antara kebebasan pers dengan tanggung jawab
sosial menjadi sesuatu hal yang penting. Hal yang pertama dan utama, perlu
dijaga jangan sampai muncul ada tirani media terhadap publik.[2] Sampai
pada konteks ini, publik harus tetap mendapatkan informasi yang benar, dan
bukan benar sekadar menurut media. Pers diharapkan memberikan berita harus
dengan se-objektif mungkin. Untuk melihat bagaimana isi dan esensi yang
terkandung dari media itu sendiri yaitu, ada tiga pendekatan untuk menjelaskan
isi media:
1.
Pendekatan
Politik Ekonomi (media lebih ditentukan oleh kekuatan2 ekonomi dan politik di
luar pengelolaan media).
2.
Pendekatan
Organisasi ; Pendekatan ini bertolak belakang dengan pendekatan ekonomi
politik.(ini justru melihat pengelola media sebagai pihak yang aktif dalam
proses pembentukan dan produksi berita).
3.
Pendekatan
Kulturalis ; pendekatan ini merupakan gabungan antara pendekatan ekonomi
politik dan pendekatan organisasi. (proses produksi berita disini dilihat
sebagai mekanisme yang rumit yang melibatkan faktor internal media (rutinitas
organisasi media) sekaligus juga faktor eksternal di luar diri media.[3]
Pada Era reformasi ini pada hakikatnya dapat
dijadikan momentum para wartawan media cetak atau pers untuk mengembangkan
kebebasan pers yang sehat. Namun dalam praktik jurnalistik media, masih ada
wartawan yang tidak melihat peluang masa reformasi sebagai kondisi yang
kondusif. Jurnalisme, menurut Kovach dan Rosenstiel (2006: 4) adalah
menyediakan sesuatu yang unik untuk sebuah budaya – informasi yang independent,
dapat diandalkan, akurat, dan komprehensif, yang dibutuhkan anggota masyarakat
untuk bebas. Disini konsepnya, sebuah jurnalisme yang diminta untuk menyediakan
sesuatu yang berbeda dengan hal itu akan meruntuhkan budaya demokrasi. Hal
inilah yang terjadi ketika pemerintahan mengontrol berita, sebagaimana halnya
Nazi Jerman atau Uni Soviet. Kemudian melihat lagi di tempat seperti Singapura,
di mana berita dikontrol untuk menumbuhkan kapitalisme namun mencegah
partisipasi dalam kehidupan masyarakat. Sesuatu yang serupa dengan hal ini
mungkin punya akar di Amerika Serikat dalam bentuk komersial yang lebih murni,
seperti saat media pemberitaan yang dimiliki korporasi besar dipakai untuk
mempromosikan produk-produk perusahaan konglomerat yang menjadi induknya, untuk
mendukung lobi yang tidak kentara ataupun persaingan usaha, atau yang
ditemalikan dengan iklan untuk mendongkrak keuntungan. Masalahnya bukan
hilangnya jurnalisme semata. Taruhannya, apakah anggota masyarakat memiliki
akses terhadap informasi independen yang memungkinkan mengambil bagian dalam
mengatur diri sendiri. Dari fakta itu, dalam realitasnya wartawan
mengkonstruksikan informasi menjadi berita memandang dari sudut kepentingannya
yang juga dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan di luar wartawannya.
Kebebasan pers dimaknai dengan berbagai kepentingan media.
Sementara itu, kondisi kebebasan pers berperan
penting dalam membangun proses transisi menuju demokrasi di Indonesia. Sejak
menikmati kebebasan pada 1998, komunitas pers terus berupaya meningkatkan
kinerja dan profesionalisme-nya (Dewan Pers, 2006: 1). Dengan praktik kebebasan
pers, justru membuka peluang bagi kalangan pebisnis mengeksploitasi pornografi,
kekerasan dan mistik. Pebisnis melahirkan media baru cenderung berorientasi
pada keuntungan finansial dan mengabaikan fungsi ideal pers sebagai sarana
komunikasi yang sehat. Dalam kebutuhan ini, peran wartawan yang memahami dan
mempraktikkan kebebasan pers yang kreatif dan dalam koridor hukum dan peraturan
yang berlaku, akan dapat memberi warna yang hakiki pada media pers. Praktik kebebasan pers pada Era Reformasi dalam
kenyataannya masih banyak menghadapi kendala. Euforia kebebasan berpendapat dan
kebebasan berorganisasi, ditanggapi dengan banyaknya diterbitkan suratkabar
atau media. Fenomena euphoria kebebasan berdampak pada kualitas pelaksanaan kebebasan
pers.
Keterbelengguan ini seperti yang
dinyatakan oleh Veven Wardhana (wartawan kompas) paling tidak bermuara pada dua
permasalahan pokok. Pertama, karena struktur politik yang amat otoriter
terhadap distribusi informasi. Kedua, terlalu besarnya pengaruh pemilik modal
besar dalam industri pers (barrier to entry) sehingga struktur oligopoly
secara tidak langsung terbentuk. Praktis, selama itu pula pers belum mampu
berkontribusi banyak dalam proses demokratisasi.Maka dari itu pula, struktur
otoriter yang merupakan warisan penjajah Belanda ini harus disingkirkan karena
tak lagi relevan di era demokrasi seperti ini.[4]
Bagi
banyak pihak momentum ini merupakan secercah cahaya cerah bagi dunia pers
Indonesia, momentum yang diharapkan mampu mendorong pers lebih bebas dan
independen dalam menjalankan berbagai fungsinya. Tentunya sembari berharap pers
akan lebih mampu memposisikan dirinya sebagai salah satu pilar demokrasi,
melalui fungsi kontrol sosialnya.
Diskursus
mengenai bagaimana pers Indonesia berkembang pesat pasca 1999 tentu tidak akan
jauh dari realita lapangan akan ‘ledakan’ kuantitas perusahaan pers. Hal ini
tak dapat dipungkiri lagi merupakan imbas dari kebebasan berpolitik yang
diberikan oleh pemerintah. Dimana kebebasan berpolitik, termasuk pula kebebasan
pers, merupakan modal ideal dalam rangka tumbuh kembangnya budaya demokrasi di
negeri ini.[5]
Namun,
menurut Heru Sutadi dengan melihat realita sosial di lapangan bahwa dari empat
fungsi pers yang ada, yaitu fungsi informasi, pendidikan, hiburan, kontrol
sosial dan ekonomi, hanya fungsi kontrol sosial yang berkembang secara
proporsional, sedangkan yang lainnya amat timpang atau bahkan tidak berkembang
sama sekali. Maka, istilah kebebasan pers yang kebablasan, menurut saya, dapat
dipertanggungjawabkan adanya.[6]
Fenomena kebablasan pers saat ini
setidaknya dapat dipandang dari beberapa kasus seperti pornografi dan
pemberitaan yang provokatif yang dihadirkan media. Kasus pornografi mungkin tak
dapat kita lepaskan dari terbitnya Majalah Playboy medio 2006 lalu, penerbitan
yang juga disambut dengan begitu banyaknya pro-kotra intern masyarakat. Meski,
Playboy akhirnya terbit jauh lebih soft ketimbang versi
induknya di Amerika. Tetap saja,image Playboy sebagai media ‘porno’
tidak dapat ditutupi, itulah yang menjadi permasalahan. Selain itu, kasus
pornografi pun menjerat sendiri Presiden Gus Dur, yang notabene mempelopori
kebebasan pers. Lihat saja, pemberitaan foto rekayasa Gus Dur bersama Aryanti
Sitepu, yang mengaku sebagai pacar gelap orang nomor satu di Indonesia itu, di
atas ranjang disebarkan kepada khalayak. Kesemua hal tersebut sah-sah saja
muncul di depan publik, tentu dengan berdalih kebebasan pers. Sedang,
pemberitaan provokatif begitu mudahnya muncul seperti: Bush Babi Buta, Amerika
Setan! atau berbagai gaya bahasa sarkastis yang mengibaratkan
anggota DPR bagaikan ikan lele yang berebut kotoran, seringkali masih
digunakan. Padahal sangat jelas, pers tidak boleh menyiarkan informasi atau
gambar yang dapat dinilai menyinggung rasa kesopanan individu atau kelompok
tertentu.[7]
Kedua
kasus ini hanyalah segelintir kasus bagaimana pers Indonesia tak jarang telah
melanggar dan melangkahi UU No. 40 Tahun 1999. Seharusnya, pasca reformasi yang
ditandai pula lewat iklim kebebasan dan independensi pers, pers mampu menjadi
salah satu pilar demokrasi bagi masyarakat. Salah satu caranya adalah dengan
menerapkan tiga elemen dasar pers, yakni integritas intelektual, etik, moral
dan religius. Karena ketiga aspek inilah yang diyakini mampu menjadi kontrol
internal bagi pers itu sendiri.
Apabila
fungsi internal masih belum cukup kuat untuk mengontrol pers menjadi institusi
yang melahirkan produk berkualitas. Maka, fungsi eksternal harus diperkuat,
salah satu caranya adalah dengan mendirikan ‘lembaga media watch’ yang benar-benar
independen. Lembaga yang diharapkan dapat menjadi lembaga yang dapat mengontrol
kebebasan pers, bukan untuk ‘mengebiri’, melainkan mengontrol
pertanggungjawaban pers kepada masyarakat. Diharapkan ‘lembaga media watch’ ini
dapat menyempurnakan pengawasan eksternal pers yang sebelumnya telah ada di
tangan dewan pers, KPI, masyarakat dan organisasi pers.[8]
Setelah
halangan struktural kebebasan pers berhasil disingkirkan, maka kebebasan pers
itu semata-mata berhadapan dengan batas toleransi masyarakat. Opini publik lah
yang akan membatasi, sejauh mana pers boleh bebas. Tidak bisa dielakkan bakal
ada benturan kepentingan dan memunculkan ketidakpuasan satu pihak Ketika
kebebasan berpendapat seseorang merugikan pihak lain, maka satu-satunya
penyelesaian adalah melalui pengadilan—yang diharapkan bisa mengeluarkan
keputusan yang bijaksana—setelah melalui perdebatan yang luas. Sayangnya,
ditengah kegandrungan terhadap kebebasan yang menggebu saat ini, hukum belum
siap mengantisipasinya--baik hukum untuk menggebuk pelaku kekerasan maupun
menindak media yang kurang ajar. Akibatnya tirani masih bias, dan pers menjadi
sasaran empuk untuk melampiaskan kejengkelan akan kebebasan. Situasi itu
merupakan produk langsung dari hukum yang vakum. Bukan saja aparatnya sedang
kehilangan wibawa, melainkan perangkat aturannya juga belum tersedia secara
memadai. Oleh karena itu, pers Indonesia dituntut untuk bisa mengatur atau
mengontrol sendiri (self regulated), sesama sejawat pers saling mengingatkan.
Atau setidaknya mematuhi ketentuan yang diatur dalam kode etik pers, dan
menempatkan lembaga semacam Dewan Pers menjadi “polisi” yang diikuti teguran
atau peringatannya. Jika tidak, apa boleh buat, kontrol masyarakat, seperti
pendudukan kantor media, akibat tidak puas atas pemberitaan pers bakal akan
terus terjadi.
Kebebasan pers adalah sesuatu hal
yang didamba semua pihak. Namun, mau tak mau kebebasan tersebut tetap harus
berjalan pada koridor yang bertanggungjawab. Meski tak bertanggungjawab kepada
negara, pers memiliki tanggungjawab yang lebih besar kepada publik. Publik
harus dilayani sebaik mungkin secara seimbang dan proporsional berdasarkan
empat fungsi pers yang telah disebutkan di atas,
Daftar Pustaka
Abar,
Akhmad Zaini. 1966-1974 Kisah Pers Indonesia. Yogyakarta: Lkis. 1995
Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi
Indonesia. Vol. V/ Oktober 2000.
Sutadi, Heru. Kebebasan Pers =
Kebablasan Pers. Koran Sinar Harapan, 9 Februari 2002.
Wardhana, Veven Sp. Poligami, Akbar
Tandjung, dan Kebebasan Media. Koran Tempo, 28 Januari 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar