Jumat, 13 September 2013

kerajaan Mataram islam

PERPECAHAN MATARAM
KESULTANAN NGAYOGYAKARTA DAN KASUNANAN SURAKARTA
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Di dalamnya terdapat berbagai peristiwa yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Salah satu di antaranya adalah seputar berdirinya Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Negeri yang dipimpin oleh raja yang bergelar Sultan Hamengkubuwono ini merupakan satu – satunya wilayah di Nusantara yang mampu berdiri sendiri alias tidak merasakan pahitnya kolonialisme secara langsung. Berdirinya kraton ini juga merupakan pembuktian terhadap makna kehidupan yang selalu berputar.
Jika kita urutkan, awalnya di daerah Jawa Tengah lahirlah Kerajaan Mataram (Kuno). Karena kondisi alam yang waktu itu, yakni pada awal abad ke 11 M., Gunung Merapi meletus, sehingga Mpu Sendok memindahkan pusat pemerintahan ke Jawa Timur. Di Jawa Timur, oleh Airlangga, kerajaan dibagi menjadi dua, Jenggala dan Kediri. Di antara keduanya, lebih banyak catatan sejarah tentang Kerajaan Kediri. Pada tahun 1222, Ken Arok berhasil menumbangkan Kertajaya dalam sebuah peperangan, sehingga jatuhlah Kediri dan munculah Singasari.
Kerajaan Singasari mencapai puncak kejayaannya ketika Kertanegara naik tahta. Pun juga di masa pemerintahannya Singasari tumbang oleh pemberontakan Jayakatwang (sisa – sisa keturunan Kediri). Tetapi Jayakatwang tidak berhasil membangun Kediri seperti dulu lagi karena mendapat serangan dari menantu Kertanegara, Raden Wijaya. Setelah kemenangan ini, lahirlah negara nusantara kedua, Majapahit. Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaannya ketika hadir sebagai pemimpin pemerintahan adalah duet Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada.
Setelah mereka berdua tiada, kondisi kerajaan menjadi kacau. Terjadi perebutan kekuasaan antara Wikramawardhana (putra permaisuri Hayam Wuruk) dengan Bhre Wirabumi (putra selir Hayam Wuruk). Akibatnya, meletuslah Perang Paregreg. Perang ini memberikan dampak yang sangat buruk bagi eksistensi Majapahit. Banyaknya korban jiwa dan biaya mahal untuk berperang merupakan masalah yang tidak sepele. Selain itu, banyak wilayah – wilayah majapahit memisahkan diri sehingga pamor Majapahit semakin pudar.
Di saat yang hampir bersamaan, muncul sebuah kesultanan di kota Demak. Ini merupakan kesultanan yang pertama di Tanah Jawa. Pelan tapi pasti, pengaruh Islam (Demak) mulai menguat dan pengaruh Majapahit semakin berkurang. Ketika Syiar Islam mulai memasuki istana, orang – orang yang tidak setuju memilih untuk mengasingkan diri ke Tengger atau menyebrang ke Pulau Bali. Ketika Demak kehilangan Sultan Trengono yang tewas dalam upaya penyerangan ke Pasuruan, terjadi perebutan kekuasaan antara sang putra mahkota dengan putra adik Sultan Trenggono.
Perpecahan ini membuat pengaruh Demak di Tanah Jawa mulai menurun. Terlebih lagi setelah Banten dan Cirebon memisahkan diri. Usaha penyelamatan kesultanan dilakukan oleh Jaka Tingkir (sang putra mahkota) dengan memindahkan pusat pemerintahan ke daerah pedalaman dan lahirlah Kesultanan Pajang. Kabar tertulis mengenai kondisi Pajang jarang ditemukan. Satu hal yang pasti, Jaka Tingkir yang bergelar Sultan Hadiwijaya telah memberikan sebuah wilayah kepada Sutawijaya di daerah yang kita kenal sekarang sebagai Kota Gede. Ketika pengaruh Pajang mulai surut, Sutawijaya yang dibantu Ki Ageng Pemanahan kemudian bergelar Panembahan Senopati mendirikan Kesultanan Mataram Islam.
Kebesaran Mataram mulai terasa ketika kesultanan ini dipimpin oleh Panembahan Agung Abdulrahman atau yang lebih dikenal sebagai Sultan Agung Hanyokrokusumo. Peningkatan terjadi di berbagai bidang. Antara lain adalah wilayah kesultanan yang semakin luas (meliputi sebagian besar Pulau Jawa), perekonomian yang sehat, kesusastraan yang maju, dan bahkan di masa Sultan Agung inilah kalender Jawa dan kalender Hijriyah dapat “disatukan”. Khusus untuk penyatuan kalender ini, ada satu hal yang menarik. Yakni dari sisi bahasa.
Jika di kalender Hijriyah terdapat Syafar, maka oleh Sultan Agung diubah menjadi Sapardi kalender Jawa.  Jika di kalender Hijriyah terdapat Rajab, maka diubah di kalender jawa menjadi Rejeb. Jika di kalender Hijriyah terdapat Dzul Qa’dah, maka di kalender Jawa menjadi Dulkangidah. Disamping karena faktor lidah, penamaan bulan di kalender Jawa juga disesuaikan berkenaan dengan “ritual” keagamaan yang terjadi pada bulan tersebut. Bulan yang dimaksud adalah Ruwah, yang di kalender Hijriyah disebut sebagai bulan Sya’ban. Pada bulan ini, dalam tradisi Jawa diadakan “ruwatan” atau pembersihan lahir batin guna menyambut bulan suci Ramadan.
Selain itu, dengan gagah berani selama dua tahun berturut-turut (1828-1829) di bawah komando Sultan Agung, pasukan Mataram menggempur Batavia demi mengusir VOC (Belanda) dari Jawa. Dan pada serangan kedua, pasukan Mataram berhasil membuat gubernur jenderal yang kala itu berkuasa, Jan Pieterzoon Coen tewas.
Sebagaimana kehidupan istana pada umunya yang pasti tidak pernah lepas dari konflik internal, Kesultanan Mataram juga mengalami yang sama. Yang menjadi pembeda adalah adanya campur tangan VOC. Sehingga masalah yang sudah pelik jadi semakin runyam. Sebenarnya, tujuan (awal) VOC adalah menjalin hubungan dagang dengan Mataram (dengan mengesampingkan konfrontasi yang dulu pernah dilakukan oleh Sultan Agung). Sama sekali tidak menyentuh ranah politik. Tetapi, karena adanya kelemahan di dalam istana. Ditambah lagi dengan adanya pejabat – pejabat teras yang “mudah dibeli” yang membuat unsur – unsur politik VOC semakin lama semakin membuat pengaruh kongsi dagang ini semakin kuat.
Peluang pertama VOC mulai muncul sepeninggal Sunan Amangkurat II pada tahun 1703. Saat itu terjadi pertentangan antara Sunan Mas, selaku putra mahkota, dengan Pangeran Puger, adik Sunan Amangkurat II. Belanda membantu Pangeran Puger menyingkirkan Sunan Mas. Beliau berhasil dikalahkan dan dibuang ke Sri Lanka. Tetapi, Pangeran Puger yang dinobatkan sebagai Paku Buwono I ini harus membayar mahal. Dia kehilangan Cirebon, Priangan, dan timur Madura (Mochtar Lubis, 1982). Kebesaran Mataram pada masa Sultan Agung untuk sementara waktu mengalami kepudaran.[1]
Pada tahun 1719 Paku Buwono I wafat. Pecah kembali sengketa di antara anggota keluarganya yang menentang Sunan Prabu sebagai pengganti. Kesempatan ini dimanfaatkan dengan baik oleh Belanda untuk semakin menanamkan cengkramannya di bumi Mataram. Belanda mengirimkan pasukan ke Kartasura dan menumpas para penentang Sunan. Setelah Sunan Amangkurat IV wafat pada 1727, VOC dengan licik mendukung putranya yang masih berusia 16 tahun untuk naik tahta sebagai Paku Buwono II (Mochtar Lubis, 1982). Raja yang masih belia ini tentu masih sangat kurang pengalaman dan mudah terombang – ambing oleh kelompok – kelompok oportunis.[2]
Perlawanan terhadap ketidakadilan masih menyala. Pada tahun 1740, meletus keributan yang melibatkan etnis Tionghoa dengan Belanda. Menjalar dari Batavia hingga Jawa Tengah. Akibat peristiwa ini, kraton yang kala itu beribu kota di Kartasura mengalami kekacauan. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan sebutan Geger Pacinan. Paku Buwono tak berdaya menghadapi koalisi elit antara elit bangsawan oposan dengan para pengusaha Cina. Dia terpaksa menyingkir ke Gunung Lawu.
Para pejuang Mataram merasa tiba waktunya untuk mengusir VOC keluar daribumi Mataram. Mereka beraliansi dengan etnis Tionghoa. Bahkan Pakubuwono sempat ikut membela perlawanan ini. Tetapi VOC dengan bantuan Panembahan Cakraningrat dari Madura mampu mematahkan kepungan pasukan Jawa dan Madura. Kartasura pun kembali diduduki Belanda. Hal ini membuat Paku Buwono bimbang dan kemudian malah justru memihak kepada Belanda. Sunggguh keputusan yang menyesakkan lingkungan Kraton Surakarta.
Di tempat terpisah, para pendukung cucu Sunan Mas, menobatkan Raden Mas Garendi sebagai susuhunan yang sah. Kemudian mereka bersama dengan orang – orang Tionghoa menggempur kraton. Sayang, serangan ini dapat dipatahkan Belanda. Sebagai gantinya Paku Buwono II harus membayar mahal. Kekuasaan Belanda terpaksa ia terima diseluruh Mataram dan kepada VOC diberi hak untuk mencetak uang sendiri di Jawa.
Sesudah itu muncul lagi perlawanan yang dipimpin oleh Raden Mas Said yang dibantu adik Paku Buwono II, Pangeran Mangkubumi. Daerah yang mereka kuasai semakin luas, terlebih setelah Paku Buwono II wafat pada tahun 1749 dan digantikan oleh putranya, Paku Buwono III. Perjuangan Pangeran Sambernyowo (nama lain Raden Mas Said) terus berlanjut hingga 17 Maret 1757 di Salatiga. Adapun sejak tahun 1744, sebenarnya para raja Jawa secara riil tidak efektif lagi kekuasannya. Aktivitas politik sehari – hari diambil alih oleh Pepatih Dalem yang harus loyal kepada VOC, karena mereka telah diangkat, disumpah, dan digaji oleh VOC.
Pertikaian politik Kraton Mataram telah menghabiskan daya dan dana yang tidak sedikit jumlahnya. Stabilitas politik dan keamanan yang kacau benar – benar mengganggu jalannya roda perekonomian. Raja dan para bangsawan terkuras keuangannya, sehingga terlilit hutang berlipat. Puncaknya adalah ketika pada 11 Desember 1749, Paku Buwono menyerahkan Kraton Mataram secara total kepada VOC, dengan Gubernur Jenderal Gustaf Willem Baron van Imhof. Atau dengan kata lain, sejak saat itu, Mataram telah “dijual” kepada VOC.
Peristiwa ini tak ayal membuat para patriot Mataram kebakaran jenggot. Pangeran Mangkubumi beserta barisan oposisi kesultanan menggugat isi perjanjian tersebut. Situasi semakin panas dan menegangkan. Kerusuhan sosial terjadi di mana – mana. Raja Mataram yang baru, Paku Buwono III masih melanjutkan kebijakan politik pendahulunya. Ketegangan semakin mengerucut antara Paku Buwono II yang dibantu VOC melawan Pangeran Mangkubumi yang beraliansi dengan Raden Mas Said. Perang terbuka maupun gerilya terjadi selama 6 tahun (1749-1755). Perang yang berkepanjangan ini melelahkan kedua belah pihak. Di kisaran tahun 1754, mulai ada beberapa upaya perundingan yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Perundingan – perundingan ini bisa terlaksana atas prakarsa gubernur wilayah pesisir timur laut yang baru, Nicolaas Hartingh, melalui seorang penengah berkebangsaan Turki, Syeh Ibrahim[3]. Akhirnya, pada 13 Februari 1755, dicapai kesepakatan antara Pangeran Mangkubumi dengan Paku Buwono III atau yang lebih kita kenal saat ini dengan Perjanjian Giyanti.
Pokok dari perjanjian tersebut adalah Palihan Nagari. Yakni membelah Mataram menjadi dua. Susuhunan Paku Buwono III mendapat wilayah dengan ibukota Surakarta. Pangeran Mangkubumi mendapatkan bagiannya yang beribu kota di Yogyakarta. Pembagian ini diikuti dengan pembagian budaya. Budaya Surakarta dan Budaya Yogyakarta seolah bersaing keras yang tidak jarang menciptakan perselisihan.
Untuk kesekian kalinya, sungguh hebat peranan yang dipegang oleh para gubernur dalam pemerintahan kolonialis Belanda selama ratusan tahun silam. Betapa pandainya pimpinan VOC dan para pimpinan pemerintahan belanda mendalangi perang saudara di antara para penguasa lokal dengan menyebarkan benih – benih perpecahan secara terus – menerus. Bila pada masa Paku Buwono II, van Hoffendorf menyukai cara keras, maka Hartingh lebih memilih untuk menggunakan cara yang lebih halus.
Cara hartingh membagi Mataram menjadi dua, yang berarti ada dua raja yang masih memiliki hubungan kekeluargaan ini juga bukti betapa pandai ia melepas umpan. Tujuannya tentu tak lain dan tak bukan adalah agar selalu ada benih pertengkaran di antara para raja. Misalnya, ada daerah – daerah yang sengaja dimasukkan sebagai wilayah Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, tetapi wilayahnya terselip di tengah – tengah area Kasunanan Surakarta atau sebaliknya. Tentu hal macam ini dalam jalannya roda pemerintahan sering mempertajam hubungan. Ketika ada perselisihan, munculah gubernur VOC yang akan tampil sebagai pendamai. Tetapi, ada saja keuntungan yang mereka peroleh (Kustiniyati, 1982).[4]


DAFTAR PUSTAKA
Djoko Dwiyanto. Kraton Ngayogyakarta, Sejarah, Nasionalisme, dan Tekad Perjuangan. Paradigma Indonesia.
M.C Ricklefs. 2011. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.




[1] Djoko Dwiyanto, “Kraton Ngayogyakarta, Sejarah, Nasionalisme, dan Tekad Perjuangan”, (Paradigma Indonesia), hal. 7
[2]Ibid, hal. 8
[3]M.C Ricklefs, “Sejarah Indonesia Modern”, (Yogyakarta: Gadjah Mada Unversity Press, 2011), hal. 149
[4]Op cit, hal. 13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar