Selasa, 28 Januari 2014

Tradisi lisan dan tulisan

BAB I
Pendahuluan
A.    Latar Belakang
Historiografi dalam arti luas merupakan sejarah penulisan sejarah yang berisi aktivitas manusia dan peradaban pada masa lampau yang didalamnya terdapat sesuatu yang berkesinambungan, kausalitas dan perubahan yang didalamnya terdapat teori dan metodologi yang isinya mempunyai kesatuan yang utuh. Historiografi adalah relistruksi imajinatif masa lampau manusia pada masa lampau berdasarkan bukti-bukti dan data-data yang diperoleh melalui proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Penulisan sejarah zaman dahulu atau historiografi tradisional pada zaman dahulu dilakukan oleh para pujangga. Walau belum mengetahui secara pasti apa fungsi penulisan sejarah, tapi penulisan sejarah banyak dilakukan. Penulisan tersebut dilakukan atas dasar keinginan sendiri atau atas dasar permintaan seorang raja.
Sebelum sejarah ditulis oleh para pujangga pada zaman dahulu, sejarah sudah disampaikan melalui cerita. Yang dikenal dengan tradisi kecil dan tradisi besar. Tradisi kecil merupakan penyampaian sejarah melalui cerita lisan, Sedangkan tradisi besar merupaka penyampaian sejarah melalui tulisan. Tradisi kecil berlangsung sebelum ada Tulisan, belum ada bahasa sansekerta dan tulisan jawa. Kemudian melalui proses yang sangat panjang tradisi kecil tersebut berkembang menjadi tradisi besar, tentu saja seiring dengan ada dan berkembangnya tulisan, bahasa sansekerta dan bahasa jawa; Penulisan sejarah yang ada sebagian besar ditemukan di istana, maka penulisan sejarah pada zaman dahulu bersifat istana sentris.
Tradisi besar atau tradisi tulisan yaitu penyampaian sejarah melalui tulisan. Tradisi tulisan tentu saja ada setelah manusia mengenal tulisan. Tulisan yang menjadi sasaran penulis dipandang sebagai hasil budaya yang berupa cipta sastra. Tulisan yang berupa naskah itu dipandang sebagai cipta sastra karena teks yang terdapat di dalam naskah itu merupakan suatu keutuhan dan mengungkapkan pesan. Pesan yang terbaca dalam teks secara fungsional berhubungan erat dengan filsafat hidup masyarakat pendukungnya. Teks tulisan dapat berupa tulisan tangan, tetapi dapat pula tulisan cetakan.
Tulisan atau Naskah-naskah kuno yang tersimpan di museum-museum, perpustakaan-perpustakaan, maupun yang tersimpan pada anggota masyarakat di seluruh pelosok tanah air, merupakan warisan nenek moyang bangsa yang sangat berharga, karena pada naskah-naskah kuno itulah terkandung informasi tentang keadaan, gambaran, sikap, pandangan, dan cita-cita mereka semasa hidupnya. Saat ini bagi anak-cucunya, karya mereka jelas merupakan dasar budaya bangsa Indonesia, Naskah kuno di Indonesia bersisikan berbagai ragam, mulai dari naskah kesusastraan dalam arti terbatas sampai keagamaan, kemasyarakatan, sejarah, yang sangat penting bagi pengetahuan kebudayaan tiap-tiap daerah dan sebagai keseluruhan dapat memberikan gambaran lebih jelas mengenai kebudayaan Indonesia pada umumnya. Umumnya naskah-naskah kuno itu ditulis dalam bahasa daerah dan menggunakan aksara daerah. Oleh sebab itu, para penulis dalam hal ini adalah pujangga, pujangga Nusantara memang harus menguasai bahasa dan aksara daerah Nusantara.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud tradisi tulisan ?
2.      Apakah yang dimaksud tradisi lisan ?

C.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui apayang dimaksud tradisi tulisan
2.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud tradisi lisan



BAB II
Tradisi Tulisan dan Tradisi Lisan
A.    Tradisi Tulisan
Awal perkembangan penulisan sejarah di Indonesia dimulai dengan adanya penulisan sejarah dalam bentuk naskah. Beberapa sebutan untuk naskah-naskah yaitu babad, hikayat, kronik, tambo dan lain-lain. Bentuk penulisan sejarah pada naskah tersebut, termasuk dalam kategori historiografi tradisional, sebutan ini untuk membedakan dengan historiografi tradsional. Historiogarfi modern sudah lebih dulu berkembang di barat. Ciri Historiografi modern yang membedakan dengan historiografi tradisional adalah penggunaan fakta. Fakta menjadi kenyataan sejarah.
Perkembangan historiografi seiring dengan perkembangan alam pikiran manusia. Historiogarfai di Indonesia seiring pula dengan perkembangan sejarah Indonesia. Salah satu perkembangan penting dalam penulisan sejarah di Indonesia yang mengarah pada bentuk historiografi yang modern adalah penulisan sejarah yang ditulis oleh orang Belanda. Sebuah tim yang terdiri dari para sarjana ahli sejarah dan diketuai Dr. FW. Stapel. Judul buku sejarah yang ditulis tersebut adalah Geschiedenis van Nederlandsch Indie (Sejarah Hindia Belanda).
Penulisan Stapel dianggap Neerlandosentris. Dalam perkembangan kemudian banyak mendapat kritikan. Sejak awal kemerdekaan semanagat penulisan sejarah Indonesiasentris telah muncul. Salah satu cara yang dilakukan oleh para penulis sejarah Indonesia, khususnya penulis buku-buku pelajaran sejarah, mengubah judul buku sejarahnya menjadi “Sejarah Indonesia”. Penulisan buku sejarah ini khususnya diperuntukan kepentingan sekolah.
Pada masa pendudukan Jepang, pelajaran sejarah mendapatkan pengawasan yang ketat dari badan propaganda dan kebudayaan bentukan pemerintah Militer Jepang. Pemerintahan Jepang salah satu upaya menhilangkan pengaruh barat (Belanda) terhadap kaum pribumi melaui jalur pendidikan, sehingga istilah “Sejarah Tanah Hindia” diubah menjadi “Sejarah Indonesia”. Berakhirnaya pendudukan Jepang, muncul buku pegangan yang dipakai di sekolah. Buku tersebut ada yang resmi ditulis oleh guru sendiri yang berupa diktat maupun diterbitkan menjadi buku. Da beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam penulisan sejarah Indonesia sebagai upaya dekolonisasai yaiu :
1.      Sejarah Indonesia yang wajar adalah sejarah yang mengungkapakan “Sejarah dari dalam” dimana bangsa Indonesia sendiri memegang peranan pokok.
2.      Proses perkembangan bangsa masyarakat Indonesia hanya dapat diterangakan sejelas-jelasnya dengan menguraikan faktor atau kekuatan yang mempengaruhinya, baik ekonomi, sosial, politik ataupun kultural.
3.      Pengungkapan aktivitas dari berbagai golongan masyarakat, tidak hanya para bangsawan, atau kstaria, tetapi juga dari kaum ulama atau petani serta golongan-golongan lainnya.
4.      Untuk menyusun sejarah Indonesia sebagai suatu sintese, dimana digambarkan proses yang menunjukan perkembangan kearah kesatuan geo-politik seperti yang kita hadapi dewasa ini maka prinsip intregasi perlu dipergunakan untuk mengukur seberapa jauh integrasi itu dalam masa-masa tertentu telah tercapai.
Adanaya filsafat sejarah nasional agar penulisan sejarah Indonesia mempunyai sendi yang berdasarkan alam pikiran untuk menyusun sejarah Indonesia kembali. Pada tahun 1963 dibentuk panitia untuk melaksanakan penulisan kembali sejarah Indonesia, namun karena pada tahun-tahun berikutnya di negara kita terjadi ketegangan sosial dan krisis politik, menyebabkan panitia tidak dapat menghasilkan sesuatu. Titik terang dalam perkembangan penulisan buku sejarah nasional kembali muncul dengan diselenggarakannya Seminar Sejarah Nasional Kedua di Yogyakarta tahun 1970. Upaya perbaikan terhadap penulisan sejarah Indonesia terus dilakukan. Penulisan sejarah tidak hanya dengan pendekatan struktural , namun juga muncul pendekatan strukturis.[1] Historiografi Indonesia modern baru dimulai sekitar tahun 1957, waktu diselenggarakannya Seminar Nasional Indonesia Pertama di Yogyakarta.
Agenda Seminar itu meliputi filsafat sejarah nasional, periodesasi Sejarah Indonesia, dan pendididkan sejarah. Dari sinilah mulai nasionalisasi atau untuk menggunakan istilah saat ini “pribumisasi” historiografi Indonesia. Sebagai usaha tambahan terhadap penulisan sejarah, dapat disebutkn usaha-usaha penerbitan arsip yang dikerjakan oleh Arsip Nasional. Tulisan ini akan meliputi juga kegiatan penerbitan-penerbitan yang tidak secara khusus mengklaim sebaga penerbit sejarah, tetapi yang dalam kenyataannya menyumbang besar terhadap pemahaman sejarah, seperti penerbitan buku-buku “kenangan” ulang tahun tokoh-tokoh sejarah.  Dalam penulisan sejarah kontemporer, misalnya, penulis-penulis skripsi tidak saja ingat persoalan politik, tetapi sudah menjangkau masalah-masalah sosial, agama, budaya dengan pendekatan-pendekatan baru berdasar pengetahuan mereka mengenai ilmu-ilmu sosial.[2]
B.     Tradisi Lisan
Sejarah lisan tampak sebagai sebuah metode untuk menggali pengalaman orang biasa, mengatasai keterbatasan dokumen tertulis yang tidak banyak dan sering tidak terawat. Sejarah lisan menurut perimbangan antar berbagai prioritas yang saling bersaing, dan banyak dari prioritas ini berkaitan dengan kepekaan peneliti akan hubungan pribadi anatar manusia. Sisi afektif dan emosi dalam penelitian sejarah paling menonjol dalam sejarah lisan, karena dalam sejarah lisan kita berdialog dengan orang-orang hidup.[3]
Sejarawan besar profesional abad ke-19 asal pranci, Jules Michelet. Profesor Ecole Normale, Sorbone dan College de Farnce, serta kurator kepala pada Arsip Nasional, menulis karyannya History of the French Revolutions (1847-53), ia beranggapan bahwa dokumen tertulis harusnya menjadi salah satu sumber saja. Dalam jangka sepuluh tahun dia mengumpulkan bukti-bukti lisan secara sistematis di luar Paris. Niatnya menyeimbangkan bukti berupa dokumen-dokumen resmi dengan penilaian politis yang di dapat dari tradisi lisan populer.
Ketika mengatakan sejarah lisan, yang dia maksud adalah tradisi nasional, yang umumnya tersebar dalam mulut semua orang, yang dikatakan dan diulangi setiap orang, petani, orang udik, orang tua, perempuan, bahkan kanak-kanak; yang dapat kau dengar ketika memasuki kedai minum desa di malam hari; yang dapat kau kumpulkan dan temukan pada pejalan kaki yang tengah berhenti, kau mulai bercakap-cakap dengannya tentang hujan, musim, kemudian tentang persediaan makanan, zaman-zaman para kaisar, zaman-zaman revolusi.[4]
            Peristiwa-peristiwa pada masyarakat yang belum mengenal tulisan, tidak meninggalkan bukti-bukti tertulis. Jika menjelaskan suatu asal-usul tempat, maka yang dijadikan bukti hanya bukti benda atau artefak dari benda itu sendiri. Penjelasan asal-usul tempat itu lebih banyak berupa cerita lisan. Cerita tersebut akan terus menerus diceritakan dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi sehingga menjadi sutu tradisi atau menjadi tradisi lisan. Tardisi lisan merupakan cara yang dilakukan oleh masyarakat yang belum mengenal tulisan dalam merekam dan mewariskan pengalaman masa lalu dari masyarakatanya.
            Tradisi lisan berfungsi sebagai alat “mnemonik” usaha untuk merekam, menyusun dan menyimpan pengetahuan demi pengajaran dan pewarisannya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Masyarakat pendukung tradisi lisan lebih mementingkan retorika ceritanya daripada kebenaran faktanya. Pewarisan ini dilakuakan agar masyarakat yang menjadi generasi berikutnya memiliki rasa kepemilikan atau mencintai cerita masa lalunya. Tardisi lisan dalam bentuk pesan-pesan verbal yang berupa pernyataan-pernyataan lisan yang diucapakan, dinyanyikan atau disampaikan lewat musik. Asal tradisi lisan dari generasi sebelumnya karena memiliki fungsi penafsiran, sedangkan di dalam sejarah lisan, tidak ada upaya untuk pewarisan .[5]
            Tradisi lisan tidak termasuk kesaksian mata yang merupakan data lisan. Juga tidak termasuk rerasan masyarakat yang meskipun lisan tetapi tidak ditularkan dari satu generasi ke generasi lain. Tradisi lisan terbatas dalam kebudayaan lisan dari masyarakat yang belum mengenal tulisan. Tradisi lisan mengandung nilai-niali moral, keagamaan, adat-istiadat, cerita-cerita khayal, peribahasa, nyanyian, mantra. Dalam ilmu antropologi tradisi lisan sebagai sumber data bagi penelitian sudah dipergunakan sejak awaltimbulnya ilmu itu, tetapi dalam ilmu sejarah penggunaan tradisi lisan masih merupakan hal yang baru.[6]
            Tradisi lisan muncul berkaitan dengan usaha mengabadikan pengalaman-pengalaman kelompok dimasa lampau melalui cerita yang diturunkan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Menurut Vansia unsur penting dalam tradisi lisan adalah pesan-pesan verbal yang berupa pernyataan-pernyataan yang pernah dibuat dimasa lampau oleh generasi yang hidup sebelum generasi yang sekarang ini. Yang perlu diperhatikan dalam hubungan tardisi lisan ini adalah:
1.      menyangkut pesan-pesan yang berupa pernyataan-pernyataan lisan yang diucapakan, dinyanyikan atau disampaikan lewat musik atau alat bunyi-bunyian.
2.      Tradisi lisan berasal dari generasi sebelum generasi sekarang, paling sedikit satu generasi sebelumnya.
Menurut Vansia, tradisi lisan bisa dibedakan menjadi beberpa jenis :
1.      Petuah-petuah yang sebenarnya merupakan rumusan kalimat yang dianggap punya arti khusus bagi kelompok, yang biasannya disitat secara berulang-ulang untuk menegaskan satu pandangan kelompok yang diharapakan jadi pegangan bagi generasi-generasi berikutnya. Rumusan kalimat biasannya diusahakan tidak diubah-ubah meskipun dalam kenyataan perubahan bisa terjadi terutama sesudah melewati beberapa generasi, apalagi penerusannya bersifat lisan, jadi sukar dicek dari rumusan aslinya. Namun karena kedudukannya istimewa dalam kelompok, maka tetap diyakini bahwa rumusan itu tidak berubah.
2.      Kisah tentang kejadian-kejadian disekitar kehidupan kelompok, baik sebagai kisah perseorangan atau kelompok. Kisah yang sebenarnya berintikan fakta tertentu, fakta inti dengan cepat biasannya diselimuti unsur kepercayaan atau pencampuradukan anatar fakta dengan kepercayaan itu. Cara penyampaian fakta memang seperti penyampaian gosip (penuh dengan tambahan menurut selera penuturnya. Vanisa memberi istilah “historical gossip” (gosip yang berniali sejarah).
3.      Cerita kepahlawanan yang berisi bermacam gambaran tentang tindakan kepahlawanan yang mengagumkan bagi kelompok pemiliknya yang biasannya berpusat pada tokoh-tokoh tetentu dari kelompok itu.
4.      Cerita Dongeng yang umumnya bersifat fiksi belaka. Biasanya berfungsi umtuk menyenangkan bagi yang mendengarkannya.
Tradisi lisan sering dihubungkan dengan folklor, karena foklor menyangkut tradisi dalam kelompok masyarakat atau komunitas tetentu, Pewarisan melaui cara lisan atau tutur kata. Tardisi lisan hanyalah bagian dari foklor. Tardisi lisan mempunyai keterbatasan yaitu adanya unsur subjektifitas lebih besar dibandingkan unsur tertulis. Yang menjadi masalah dalam tradisi lisan adalah penerapan konsep kausalitas dalam uraian ceritannya. Tradisi lisan memuat informasi luas tentang kehidupan  suatu komunitas dengan berbagai aspeknya.[7]                  
Tradisi lisan adalah  berbagai pengetahuan dan adat kebiasaan yang secara turun-menurun disampaikan secara lisan dan mencakup hal-hal tidak hanya berisi cerita rakyat, mite, dan legenda. Tradisi lisan diartikan sebagai “segala wacana yang diucapkan meliputi yang lisan dan hanya beraksara.” Menurut Suripan Sadi Hitomo (1991:11), tradisi lisan itu mencakup beberapa hal, yakni (1) yang berupa kesusutraan lisan, (2) yang berupa teknologi tradisional, (3) yang berupa pengetahuan folk di luar pusat-pusat istana dan kota metropolitan, (4) yang berupa unsur-unsur religi dan kepercayaan folk di luar batas formal agama-agama besar, (5) yang berupa kesenian folk di luar puast-pusat istana dan kota metropolitan, dan (6) yang berupa hukum adat. Kemudian pudentia (1999:32-35) memberikan pemohonan tentang hakikat orality sebegai berikut.
                                    Tradisi lisan (oral tradition) mancakup segala hal yang berhubungan dengan sastera, bahasa, sejarah, biografi, dan berbagai pengetahuan serta jenis kesenian lain yang disampaikan dari mulut ke mulut. Jadi tradisi lisan tidak hanya mencakup cerita rakyat, teka-teki, peribahasa, nyanyian rakyat, mitologi, dan legenda, seperti yang umumya diduga orang, tetapi juga berkaitan dengan sistem kognitif kebudayaan, seperti sejarah hukum, dan pengobatan. Tradisi lisan adalah “segala wacana yang diucapkan atau disampaikan secara turun-temurun meliputi yang lisan dan yang berraksara” dan diartikan juga sebagai “sistem wacana yang bukan beraksara.” Tradisi lisan tidak hanya di miliki oleh orang lisan saja. Implikasi kata “lisan” dalam pasangan lisan tertulis berbeda dengan lisan beraksara. Lisan yang pertama (oracy) mengandung maksud kebebasan bersuara; sedangkan lisan kedua (orality) dalam maksud beraksara kebolehan bertutur secara beraksara.
Kelisanan dalam masyarakat berakasara sering diartikan sebagai hasil dari masyarakat yang terpelajar; sesuatu yang belum dituliskan; sesuatu yang dianggap belum sempurna atau matang, dan sering dinilai dengan kriteria keberaksaraan. Bila diberikan deskripsi tentang kelisanan dengan memakai ukuran dari hal-hal yang berasal dari dunia keberaksaraan, masih ada hal-hal tertentu yang khas dari kelisanan yang belum terungkap ada pula hal-hal yang diungkapkan, tetapi tidak diwujudkan. Hal ini tidaklah berarti bahwa kelisanan sama sekali terlepas dari dunia keberaksaraan atau sebaiknya, dunia keberaksaraan tidak berkaitan dengan dunia kelisanan. Hubungan di antara tradisi lisan dan tradisi tulis khususnya dalam dunia melayu didasari oleh anggapan bahwa dengan mengetahui interaksi keduanya, bru dapat memahami masing-masing tradisi tersebut. Pada beberapa tempat hubungan atau penulisan tradisi lisan ke dalam naskah tertulis, sebagaimana telah dijelaskan pada hakikat keselisihan di atas, tertentu memiliki latar belakang yang berbeda-beda dalam perjalanannya, naskah-naskah yang berawal dari riwayat lisan menimbulkan banyak versi. Hal ini dipengaruhi oleh selera penulis atau penyaliannya.[8]
BAB III
Penutup
Historiografi adalah relistruksi imajinatif masa lampau manusia pada masa lampau berdasarkan bukti-bukti dan data-data yang diperoleh. Data-data tersebut menjadi dua kategori yaitu tulisan dan lisan. Yang dikenal dengan tradisi kecil dan tradisi besar. Tradisi kecil merupakan penyampaian sejarah melalui cerita lisan, Sedangkan tradisi besar merupaka penyampaian sejarah melalui tulisan. Tradisi kecil berlangsung sebelum ada Tulisan.
            Awal perkembangan penulisan sejarah di Indonesia dimulai dengan adanya penulisan sejarah dalam bentuk naskah.Salah satu perkembangan penting dalam penulisan sejarah di Indonesia yang mengarah pada bentuk historiografi yang modern adalah penulisan sejarah yang ditulis oleh orang Belanda. Tradisi lisan adalah  berbagai pengetahuan dan adat kebiasaan yang secara turun-menurun disampaikan secara lisan dan mencakup hal-hal tidak hanya berisi cerita rakyat, mite, dan legenda.










Daftar Pustaka

Agus Mulyana, Darmiasti, Historiografi di Indonesia, 2009, Bandung: PT.
       Refieka Aditama

I Gde Widja, Sejarah Lokal Suatu Perspektif dalam Pengajaran Sejarah, 1989,
       Jakarta: DEPDIKNAS

Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, 2003, Yogyakarata: PT. Tiara wacana Yogya

Scuthle Nordholt, dkk, Perspektif baru Penulisan Sejarah Indonesia, 2008,
       Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Suwardi Endraswara, Foklor Nusantara: Hakikat,bentuk dan Fungsi 2003,
       Yogyakarta: Ombak
 Thompson, Paul, Suara dari Masa Silam: Teori dan Metode Sejarah Lisan, 2012,
       Ombak: Yogyakarta











[1] Agus Mulyana, Darmiasti, Historiografi di Indonesia, 2009, (Bandung: PT. Refieka Aditama), hlm 1-9

[2] Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, 2003, (Yogyakarata: PT. Tiara wacana Yogya), hlm.1-5
[3] Scuthle Nordholt, dkk, Perspektif baru Penulisan Sejarah Indonesia, 2008, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia), hlm.177-180.

[4]Thompson, Paul, Suara dari Masa Silam: Teori dan Metode Sejarah Lisan, 2012, (Ombak: Yogyakarta), hlm. 25

[5]Agus Mulyana, Op., Cit, hlm. 11-15.

[6] Kuntowijoyo, OP., Cit, hlm. 25.
[7] I Gde Widja, Sejarah Lokal Suatu Perspektif dalam Pengajaran Sejarah, 1989, (Jakarta: DEPDIKNAS), hlm.56-61.
[8]Suwardi Endraswara, Foklor Nusantara: Hakikat,bentuk dan Fungsi 2003, (Yogyakarta: Ombak), hlm. 247-249.

Seminar Sejarah nasional I (Yogyakarta)

BAB II
PEMBAHASAN
A.    LATAR BELAKANG DAN TUJUAN SEMINAR SEJARAH NASIONAL I
Bangsa Indonesia telah lama memiliki kesadaran sejarah. Bukti kesadaran ini ditunjukkan oleh banyaknya karya naskah yang bersebaran di daerah-daerah Indonesia. Naskah-naskah tersebut merupakan bagian awal dari perkembangan penulisan sejarah di Indonesia. Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, historiografi Indonesia diawali dengan perkembangan historiografi tradisional. Bentuk historiografi tradisional tersebut adalah naskah kuno sebagaimana yang telah dibahas. Setelah historiografi yang tradisional, kemudian berkembang penulisan sejarah modern.
Pada abad 20 M, setelah kemerdekaan bangsa Indonesia maka masalah sejarah nasional mendapat perhatian yang relatif besar terutama untuk kepentingan pembelajaran di sekolah sekaligus untuk sarana pewarisan nilai-nilai perjuangan serta jati diri bangsa Indonesia. Ditandai dengan:
·         Mulai muncul gerakan Indonesianisasi dalam berbagai bidang sehingga istilah-istilah asing khususnya istilah Belanda mulai diindonesiakan selain itu buku-buku berbahasa Belanda sebagian mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
·         Mulai Penulisan sejarah Indonesia yang berdasarkan pada kepentingan dan kebutuhan bangsa dan negara Indonesia dengan sudut pandang nasional.
·         Orang-orang dan bangsa Indonesialah yang menjadi subjek/pembuat sejarah, mereka tidak lagi hanya sebagai objek seperti pada historiografi kolonial.
·         Penulisan buku sejarah Indonesia yang baru awalnya hanya sekedar menukar posisi antara tokoh Belanda dan tokoh Indonesia.
Jika awalnya tokoh Belanda sebagai pahlawan sementara orang pribumi sebagai penjahat, maka dengan adanya Indonesianisasi maka kedudukannya terbalik dimana orang Indonesia sebagai pahlawan dan orang Belanda sebagai penjahat tetapi alur ceritanya tetap sama. Merupakan penulisan sejarah yang mengungkapkan kehidupan bangsa dan rakyat Indonesia dalam segala aktivitasnya, baik politik, ekonomi, sosial, maupun budaya dari sudut pandang bangsa Indonesia.
Ciri-ciri penulisan sejarah nasional antara lain:
·         Bersifat Indonesia sentries,
·         Sesuai dengan cara pandang bangsa Indonesia,
·         Mengandung character and nation-bulding (pembangunan karakter bangsa)
·         Disusun oleh orang-ornag atau penulis-penulis Indonesia sendiri.
Menurut Klooster mengenai tentang Seminar Nasional Sejarah I tahun 1957, secara garis besar, temuan Klooster dapat diringkas sebagai berikut. Pertama, di kalangan sejarawan terdapat ketidakpuasan terhadap penulisan sejarah kolonialistik yang dikembangkan pada masa penjajahan Belanda, karena tidak mengungkapkan vitalitas yang dimiliki masyarakat Indonesia (Klooster, 1985: 23). Kedua, di kalangan sejarawan berkembang kesadaran perlunya sejarah nasional Indonesia yang nasionalistik, yaitu menempatkan masyarakat Indonesia sebagai pemeran sentral. Ketiga, terdapat perbedaan pandangan di antara peserta seminar, terutama Soedjatmoko dan Muhammad Yamin, tentang landasan filosofis dan metodologi yang digunakan untuk menyusun sejarah nasional Indonesia (Klooster, 1985: 75-87).[1]
Pada periode terakhir, yaitu masa demokrasi terpimpin dan orde baru, Klooster menemukan kecenderungan penulisan sejarah lokal oleh sejarawan akademik. Seakan ada pemahaman umum bahwa untuk menyusun sejarah nasional yang komprehensif harus memahami sebanyak mungkin sejarah lokal atau daerah. Para sejarawan meneliti berbagai fenomena historis dengan fokus terutama pada kajian sosial ekonomi untuk memperoleh pemahaman pengaruh kolonial terhadap kehidupan masyarakat daerah (Klooster, 1985: 121).
Keadaaan yang demikian membuat para sejarawan dan pengamat sejarah terdorong untuk mengadakan ”Kongres Sejarah Nasional” yang pertama yaitu pada tahun 1957. Pada kongres kedua namanya diubah menjadi ”Seminar Nasional Sejarah”, membicarakan mengenai rencana untuk pembuatan sebuah buku sejarah nasional baru dengan harapan dapat dijadikan semacam buku referensi. Oleh karena itu penulisan sejarah yang seharusnya adalah:[2]
a.       Sebuah penulisan yang tidak sekedar mengubah pendekatan dari eropasentris menjadi indonesiasentris, tetapi juga menampilkan hal-hal baru yang sebelumnya belum sempat terungkap.
b.      Penulisan sejarah dengan cara yang konvensional (yang hanya mengandalkan naskah sebagai sumber sejarah) yang bersifat naratif, deskriptif, kedaerahan, serta tema-tema politik dan penguasa diganti dengan cara penulisan sejarah yang kritis (struktural analitis).
c.       Menggunakan pendekatan multidimensional.
d.      Mengungkapkan dinamika masyarakat Indonesia dari berbagai aspek kehidupan yang kemudian dapat dijadikan bahan kajian untuk memperkaya penulisan sejarah Indonesia.
Penulisan sejarah Indonesia modern bertujuan untuk melakukan perbaikan dengan menggantiklan beberapa hal seperti:
ü  Adanya pandangan religio-magis serta kosmologis seperti tercermin dalam babad atau hikayat diganti dengan pandangan empiris-ilmiah.
ü  Adanya pandangan etnosentrisme diganti dengan pandangan nationsentris.
ü  Adanya pandangan sejarah kolonial-elitis diganti dengan sejarah bangsa Indonesia secara keseluruhan yang mencakup berbagai lapisan sosial.

B.     JALANNYA SEMINAR SEJARAH NASIONAL I
Banyak buku yang bertema sejarah pada masa revolusi menimbulkan dalam pembelajaran di sekolah maupun bagi kalangan umum. Kekacauan yang terjadi pada masa itu tidak memberikan dukungan yang berarti bagi pemicu semangat kebangsaan di bidang pendidikan. Oleh karena itu, Kementrian pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia mengeluarkan sebuah kebijakan yang memutuskan tentang penyelenggaraan seminar sejarah serta menyerahkan sepenuhnya penyelenggaraannya kepada Universitas Gadjah Mada dan Universitas Indonesia.
Beberapa masalah yang menjadi kendala bagi kementrian pendidikan dan kebudayaan diantaranya yaitu:[3]
1.      Demi kepentingan nasional, terdapat permasalahan politis untuk menentukan  dan mengembangkan kepribadian bangsa.
2.      Terdapat permasalahan ilmiah yang muncul dari tuntutan-tuntutan studi sejarah, yang mungkin bertentangan dengan kepentingan politis.
Untuk memecahkan persoalan penulisan sejarah yang indonesiasentris, maka diadakanlah Seminar Sejarah Nasional I pada tanggal 14 sampai dengan 18 Desember 1957 di Yogyakarta. Seminar ini dilaksanakan melalui Keputusan Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan tanggal 13 Maret 1957 No.28201/5.
Masalah tersebut nampak pada susunan topic yang menjadi pembicaraan dalam seminar sejarah, yaitu:
                                         I.      Konsep Filosofis Sejarah Nasional.
                                         II.   Periodisasi Sejarah Indonesia.
                                      III.   Syarat Penulisan Buku Pelajaran Sejarah Nasional.
                                      IV.   Pengajaran Sejarah Indonesia di Sekolah-sekolah.
                                         V.   Pendidikan Sejarawan.
                                      VI.   Pemeliharaan dan Penggunaan bahan-bahan Sejarah.
Topik I-IV mencerminkan adanya keinginan untuk mencapai keseragaman mutlak dalam penyajian sejarah nasional. Dalam pandangan tersebut, keseragaman merupakan faktor yang penting dalam proses pembentukan kepribadian bangsa, sehingga sejarah nasional diharapkan mempunyai fungsi penting dalam sistem pendidikan nasional. Namun karena mengalami kegagalan, seminar tersebut hanya menghasilkan pendapat yang simpang siur dan membingungkan karena tidak berpedoman pada  disiplin ilmu sejarah.
Pembicaraan yang berkembang pada seminar ini menurut Moh. Ali, forum Seminar Sejarah Nasional belum mengarah pada penulisan dan pengajaran sejarah Indonesia sebagai Sejarah Nasional. Hal ini dapat dimaklumi mengingat pada saat itu di Indonesia belum banyak ahli sejarah yang benar-benar berlatar belakang pendidikan sejarah atau sejarawan. Dalam forum tersebut, pembicaraan yang lebih menonjol yaitu pemikiran mengenai mungkin tidaknya penyusunan suatu filsafat Sejarah Nasional. Pembicaraan tentang filsafat sejarah nasional banyak dibicarakan oleh Moh. Yamin dan Sujatmoko.
Perkembangan historiografi Indonesia modern ditandai dengan diselenggarakannya Seminar Sejarah Nasional di Yogyakarta. Seminar ini dilaksanakan pada tahun 1957. Sejak adanya seminar sejarah, penulisan sejarah yang ada di Indonesia mulai dilakukan oleh orang Indonesia sendiri. Sistem yang digunakan sudah mulai beranjak menggunakan sistem Indonesia sentries. Dengan demikian unsure subyektifitas dapat dipertanggung jawabkan karena yang menulis sejarah adalah orang yang berada pada saat peristiwa terjadi atau setidaknya merupakan orang Indonesia asli.
Pada masa itu, khasanah historiografi Indonesia mulai bertambah luas. Peranan-peranan rakyat biasa mulai nampak terlihat sebagai pelaku sejarah. Pada awalnya penulisan sejarah hanya dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan tinggi dalam pemerintahan, ataupun para tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam negara. Hal itu muncul karena, pada masa-masa kemerdekaan historiografi yang muncul bisa dibilang sebagai alat untuk menumbbuhkan rasa nasionalisme di tengah-tengah masyarakat. Adanya seminar sejrah nasional juga menandai perpindahan pandangan penulisan sejarah dari Eropa-sentris menuju Indonesia-sentris. Perpindahan pandangan ini  tentu saja sangat berpengaruh bagi perkembangan historiografi selanjutnya. Adanya perubahan pandangan ini menjadikan bangsa Indonesia tidak lagi dipandang sebelah mata sebagai bangsa rendahan.
Tetapi pada perkembangan setelah Seminar Sejarah pada 1957, muncul beberapa permasalahan yang tampaknya cukup mengganggu, yaitu para sejarawan cenderung hanya mengekor pada tradisi historiografi kolonial. Pada permasalahan selanjutnya, para sejarawan seringkali hanya memfokuskan pada persoalan Indonesia saja. Perdebatan terus berlanjut sampai tahun 1970. Banyak perubahan yang terjadi pada tahun-tahun setelah 1970 tidak saja dalam arti pemikiran tentang bagaimana seharusnya sejarah ditulis, tetapi juga kegiatan dalam arti konkret, seperti diwujudkan dalam perkembangan kelembagaan, ideology, dan substansi sejarah.[4]
Secara kelembagaan, penulisan sejarah adalah tugas sejarawan akademik, yang memiliki tanggung jawab besar dalam perkembangan historiografi. Alasannya, sejarawan akademis adalah mereka yang paling sadar tentang apa yang dikerjakan, mempunyai pendapat yang penuh pertimbangan tentang apa yang ditulis. Sejarawan akademislah satu-satunya kelompok yang dengan sadar menyebut diri mereka sebagai seorang sejarawan, dan mendapat pengakuan demikian. Mereka inilah yang diundang dalam seminar-seminar sejarah, dan kegiatan lain yang mengandung tujuan sejarah.[5]

C.    PENGARUH SEMINAR SEJARAH NASIONAL I
Dalam kehidupan yang serba berubah dengan kebebasan pendapat umum dan akses informasi yang sangat terbatas, maka pergeseran-pergeseran akan mampu memberikan pengaruh yang besar terhadap kehidupan dalam masyarakat, termasuk pada pokok-pokok bahasan dan materi pelajaran sejarah, dan hanya mungkin terjadi manakala berlangsung perubahan-perubahan yang bersifat paradigmatik, baik dalam tataran teoritik, maupun pada tingkat politik dankekuasaan. Perkembangan baru yang bersifat teoritik dalam ilmu sejarah , tercermin dari perubahan historiografi Indonesia, yang dianggap sebagai isi sejarah dan pandangan dunia (weltanschauung) dari sifatnya yang tradisional ke modern. Fenomena itu berlangsung setelah seminar Sejarah Nasional Indonesia I di Yogyakarta tahun 1957, yang membahas persoalan filsafat sejarah, periodesasi dalam sejarah, dan pendidikan sejarah. Sejak Seminar Nasional pertama tersebut, diusulkan berbagai upaya dalam historiografi Indonesia, namun dampaknya di bidang pengajaran sjarah belum tampak jelas. Apabila lewat pengenalan sejarah kesadaran nasional dapat dipupuk dan identitas nasional menjadi landasan kuat bagi pembangunan bangsa, maka jelaslah bahwa pengkajian sejarah mempunyai fungsi fundamental dalam pembangunan bangsa serta pembentukan manusia ndonesia bermartabat.[6]
Namun terlepas dari itu penyelenggaraan Seminar Sejarah Nasional I telah menjadi suatu periode baru dalam perkembangan historiografi Indonesia dimulai dengan timbulnya studi sejarah yang kritis. Dalam perkembangaannya historiografi Indonesia modern, dimulai sekitar tahun 1957, waktu diselenggarakannya Seminar Sejarah Nasional Indonesia pertama di Yogyakarta. Tahun itu dianggap sebagai   sebagai titik tolak kesadaran sejarah baru. Pada seminar tersebut membahas tiga hal yang dianggap sangat penting ketika itu, hal tersebut antara lain fisafat sejarah nasional, periodisasi sejarah Indonesia, dan pendidikan sejarah. Perdebatan berlanjut sampai pada tahun 1970. Banyak perubahan yang terjadi pada tahun-tahun setelah 1970 tidak saja dalam arti pemikiran tentang bagaimana seharusnya sejarah ditulis, tetapi juga kegiatan dalam arti yang kongkret, seperti diwujudkan dalam perkembangan kelembagaan, ideologi, dan substansi sejarah. Secara kelembagaan, penulisan sejarah adalah tugas sejarawan akademik, kelompok yang sebenarnya mempunyai tanggung jawab terbesar dalam perkembangan historiografi. Alasannya, sejarawan akademis adalah mereka yang paling sadar tentang apa yang dikerjakan, mempunyai pendapat yang penuh pertimbangan tentang yang ditulis, tetapi kenyataannya mereka mungkin yang paling sedikit berproduksi.



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sejarah dalam suatu idang keilmuan bukan hanya diartikan sbagai suatu cerita belaka yang dapat ditulis sesuai dengan inteprestasi kita terhadap suatu peristiwa. Sejarah dalam suatu bidang keilmuan dalam penulisannya harus melewati tahap metodologi sehingga dapat dihasilkan suatu karya sejarah yang valid dan objektif. Penggunaan metodologi sejarah dalam penulisan karya sejarah baru dikenal pada fase modern.
Seperti kita tahu di Indonesia terdapat tiga fase prkembangan penulisan sejarah yaitu sejarah tradisional, sejarah kolonial,dan sejarah modern. Di periode sejarah modern inilah titik balik penulisan sejarah Indonesia dimulai dengan gaya penulisan Indonesia sentris. Untuk menyempurnakan penyajian historiografi yang berkualitas, maka pemerintah menyelenggarakan Seminar Sejarah Nasional pada 1957 untuk mnetapkan dasar-dasar penulisan sejarah.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah latar belakang dan tujuan diadakannya Seminar Sejarah Nasional I ?
2.      Bagaimana jalannya Seminar Sejarahn Nasional I ?
3.      Apakah pengaruh Seminar Sejarah Nasional I terhadap perkembangan penulisan sejarah ?
C.    Tujuan
1.      Mengetahui tujuan diadakan Seminar Sejarah I
2.      Mengetahui jalannya Seminar Sejarah I
3.      Mngetahui pengauh Seminar Sejarah I



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Seminar Sejarah Nasional I diadakan pada 14 sampai 18 Desember di Yogykarta. Seminar ini diadakan karena ketidakpuasan terhadap penulisan sejarah kolonialistik yang dikembangkan pada masa penjajahan Belanda serta di kalangan sejarawan berkembang kesadaran perlunya sejarah nasional Indonesia yang nasionalistik. Pada Seminar Sejarah Nasional I ini membahas persoalan filsafat sejarah, periodesasi dalam sejarah, dan pendidikan sejarah. Tahun itu dianggap sebagai   sebagai titik tolak kesadaran sejarah baru. Banyak yang berubah setelah diadakannya seminar tersebut tidak saja dalam arti pemikiran tentang bagaimana seharusnya sejarah ditulis, tetapi juga kegiatan dalam arti yang kongkret, seperti diwujudkan dalam perkembangan kelembagaan, ideologi, dan substansi sejarah.



DAFTAR PUSTAKA
Aman. 2011. Model Evaluasi Pembelajaran Sejarah. Yogyakarta : Penerbit Ombak.

Danar Widiyanta. 210. Perkembangan Historiografi Modern di Indonesia. (UNY: diktat tidak diterbitkan.






[3]  Danar Widiyanta. Perkembangan Historiografi Modern di Indonesia. (UNY: diktat tidak diterbitkan, 2010), hlm. 32.

[4] Ibid., hlm. 35.
[5] Ibid., hlm. 36.

[6] Aman, Model Evaluasi Pembelajaran Sejarah , ( Yogyakarta : Penerbit Ombak, 2011), hlm. 52.