Selasa, 28 Januari 2014

Seminar Sejarah nasional I (Yogyakarta)

BAB II
PEMBAHASAN
A.    LATAR BELAKANG DAN TUJUAN SEMINAR SEJARAH NASIONAL I
Bangsa Indonesia telah lama memiliki kesadaran sejarah. Bukti kesadaran ini ditunjukkan oleh banyaknya karya naskah yang bersebaran di daerah-daerah Indonesia. Naskah-naskah tersebut merupakan bagian awal dari perkembangan penulisan sejarah di Indonesia. Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, historiografi Indonesia diawali dengan perkembangan historiografi tradisional. Bentuk historiografi tradisional tersebut adalah naskah kuno sebagaimana yang telah dibahas. Setelah historiografi yang tradisional, kemudian berkembang penulisan sejarah modern.
Pada abad 20 M, setelah kemerdekaan bangsa Indonesia maka masalah sejarah nasional mendapat perhatian yang relatif besar terutama untuk kepentingan pembelajaran di sekolah sekaligus untuk sarana pewarisan nilai-nilai perjuangan serta jati diri bangsa Indonesia. Ditandai dengan:
·         Mulai muncul gerakan Indonesianisasi dalam berbagai bidang sehingga istilah-istilah asing khususnya istilah Belanda mulai diindonesiakan selain itu buku-buku berbahasa Belanda sebagian mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
·         Mulai Penulisan sejarah Indonesia yang berdasarkan pada kepentingan dan kebutuhan bangsa dan negara Indonesia dengan sudut pandang nasional.
·         Orang-orang dan bangsa Indonesialah yang menjadi subjek/pembuat sejarah, mereka tidak lagi hanya sebagai objek seperti pada historiografi kolonial.
·         Penulisan buku sejarah Indonesia yang baru awalnya hanya sekedar menukar posisi antara tokoh Belanda dan tokoh Indonesia.
Jika awalnya tokoh Belanda sebagai pahlawan sementara orang pribumi sebagai penjahat, maka dengan adanya Indonesianisasi maka kedudukannya terbalik dimana orang Indonesia sebagai pahlawan dan orang Belanda sebagai penjahat tetapi alur ceritanya tetap sama. Merupakan penulisan sejarah yang mengungkapkan kehidupan bangsa dan rakyat Indonesia dalam segala aktivitasnya, baik politik, ekonomi, sosial, maupun budaya dari sudut pandang bangsa Indonesia.
Ciri-ciri penulisan sejarah nasional antara lain:
·         Bersifat Indonesia sentries,
·         Sesuai dengan cara pandang bangsa Indonesia,
·         Mengandung character and nation-bulding (pembangunan karakter bangsa)
·         Disusun oleh orang-ornag atau penulis-penulis Indonesia sendiri.
Menurut Klooster mengenai tentang Seminar Nasional Sejarah I tahun 1957, secara garis besar, temuan Klooster dapat diringkas sebagai berikut. Pertama, di kalangan sejarawan terdapat ketidakpuasan terhadap penulisan sejarah kolonialistik yang dikembangkan pada masa penjajahan Belanda, karena tidak mengungkapkan vitalitas yang dimiliki masyarakat Indonesia (Klooster, 1985: 23). Kedua, di kalangan sejarawan berkembang kesadaran perlunya sejarah nasional Indonesia yang nasionalistik, yaitu menempatkan masyarakat Indonesia sebagai pemeran sentral. Ketiga, terdapat perbedaan pandangan di antara peserta seminar, terutama Soedjatmoko dan Muhammad Yamin, tentang landasan filosofis dan metodologi yang digunakan untuk menyusun sejarah nasional Indonesia (Klooster, 1985: 75-87).[1]
Pada periode terakhir, yaitu masa demokrasi terpimpin dan orde baru, Klooster menemukan kecenderungan penulisan sejarah lokal oleh sejarawan akademik. Seakan ada pemahaman umum bahwa untuk menyusun sejarah nasional yang komprehensif harus memahami sebanyak mungkin sejarah lokal atau daerah. Para sejarawan meneliti berbagai fenomena historis dengan fokus terutama pada kajian sosial ekonomi untuk memperoleh pemahaman pengaruh kolonial terhadap kehidupan masyarakat daerah (Klooster, 1985: 121).
Keadaaan yang demikian membuat para sejarawan dan pengamat sejarah terdorong untuk mengadakan ”Kongres Sejarah Nasional” yang pertama yaitu pada tahun 1957. Pada kongres kedua namanya diubah menjadi ”Seminar Nasional Sejarah”, membicarakan mengenai rencana untuk pembuatan sebuah buku sejarah nasional baru dengan harapan dapat dijadikan semacam buku referensi. Oleh karena itu penulisan sejarah yang seharusnya adalah:[2]
a.       Sebuah penulisan yang tidak sekedar mengubah pendekatan dari eropasentris menjadi indonesiasentris, tetapi juga menampilkan hal-hal baru yang sebelumnya belum sempat terungkap.
b.      Penulisan sejarah dengan cara yang konvensional (yang hanya mengandalkan naskah sebagai sumber sejarah) yang bersifat naratif, deskriptif, kedaerahan, serta tema-tema politik dan penguasa diganti dengan cara penulisan sejarah yang kritis (struktural analitis).
c.       Menggunakan pendekatan multidimensional.
d.      Mengungkapkan dinamika masyarakat Indonesia dari berbagai aspek kehidupan yang kemudian dapat dijadikan bahan kajian untuk memperkaya penulisan sejarah Indonesia.
Penulisan sejarah Indonesia modern bertujuan untuk melakukan perbaikan dengan menggantiklan beberapa hal seperti:
ü  Adanya pandangan religio-magis serta kosmologis seperti tercermin dalam babad atau hikayat diganti dengan pandangan empiris-ilmiah.
ü  Adanya pandangan etnosentrisme diganti dengan pandangan nationsentris.
ü  Adanya pandangan sejarah kolonial-elitis diganti dengan sejarah bangsa Indonesia secara keseluruhan yang mencakup berbagai lapisan sosial.

B.     JALANNYA SEMINAR SEJARAH NASIONAL I
Banyak buku yang bertema sejarah pada masa revolusi menimbulkan dalam pembelajaran di sekolah maupun bagi kalangan umum. Kekacauan yang terjadi pada masa itu tidak memberikan dukungan yang berarti bagi pemicu semangat kebangsaan di bidang pendidikan. Oleh karena itu, Kementrian pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia mengeluarkan sebuah kebijakan yang memutuskan tentang penyelenggaraan seminar sejarah serta menyerahkan sepenuhnya penyelenggaraannya kepada Universitas Gadjah Mada dan Universitas Indonesia.
Beberapa masalah yang menjadi kendala bagi kementrian pendidikan dan kebudayaan diantaranya yaitu:[3]
1.      Demi kepentingan nasional, terdapat permasalahan politis untuk menentukan  dan mengembangkan kepribadian bangsa.
2.      Terdapat permasalahan ilmiah yang muncul dari tuntutan-tuntutan studi sejarah, yang mungkin bertentangan dengan kepentingan politis.
Untuk memecahkan persoalan penulisan sejarah yang indonesiasentris, maka diadakanlah Seminar Sejarah Nasional I pada tanggal 14 sampai dengan 18 Desember 1957 di Yogyakarta. Seminar ini dilaksanakan melalui Keputusan Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan tanggal 13 Maret 1957 No.28201/5.
Masalah tersebut nampak pada susunan topic yang menjadi pembicaraan dalam seminar sejarah, yaitu:
                                         I.      Konsep Filosofis Sejarah Nasional.
                                         II.   Periodisasi Sejarah Indonesia.
                                      III.   Syarat Penulisan Buku Pelajaran Sejarah Nasional.
                                      IV.   Pengajaran Sejarah Indonesia di Sekolah-sekolah.
                                         V.   Pendidikan Sejarawan.
                                      VI.   Pemeliharaan dan Penggunaan bahan-bahan Sejarah.
Topik I-IV mencerminkan adanya keinginan untuk mencapai keseragaman mutlak dalam penyajian sejarah nasional. Dalam pandangan tersebut, keseragaman merupakan faktor yang penting dalam proses pembentukan kepribadian bangsa, sehingga sejarah nasional diharapkan mempunyai fungsi penting dalam sistem pendidikan nasional. Namun karena mengalami kegagalan, seminar tersebut hanya menghasilkan pendapat yang simpang siur dan membingungkan karena tidak berpedoman pada  disiplin ilmu sejarah.
Pembicaraan yang berkembang pada seminar ini menurut Moh. Ali, forum Seminar Sejarah Nasional belum mengarah pada penulisan dan pengajaran sejarah Indonesia sebagai Sejarah Nasional. Hal ini dapat dimaklumi mengingat pada saat itu di Indonesia belum banyak ahli sejarah yang benar-benar berlatar belakang pendidikan sejarah atau sejarawan. Dalam forum tersebut, pembicaraan yang lebih menonjol yaitu pemikiran mengenai mungkin tidaknya penyusunan suatu filsafat Sejarah Nasional. Pembicaraan tentang filsafat sejarah nasional banyak dibicarakan oleh Moh. Yamin dan Sujatmoko.
Perkembangan historiografi Indonesia modern ditandai dengan diselenggarakannya Seminar Sejarah Nasional di Yogyakarta. Seminar ini dilaksanakan pada tahun 1957. Sejak adanya seminar sejarah, penulisan sejarah yang ada di Indonesia mulai dilakukan oleh orang Indonesia sendiri. Sistem yang digunakan sudah mulai beranjak menggunakan sistem Indonesia sentries. Dengan demikian unsure subyektifitas dapat dipertanggung jawabkan karena yang menulis sejarah adalah orang yang berada pada saat peristiwa terjadi atau setidaknya merupakan orang Indonesia asli.
Pada masa itu, khasanah historiografi Indonesia mulai bertambah luas. Peranan-peranan rakyat biasa mulai nampak terlihat sebagai pelaku sejarah. Pada awalnya penulisan sejarah hanya dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan tinggi dalam pemerintahan, ataupun para tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam negara. Hal itu muncul karena, pada masa-masa kemerdekaan historiografi yang muncul bisa dibilang sebagai alat untuk menumbbuhkan rasa nasionalisme di tengah-tengah masyarakat. Adanya seminar sejrah nasional juga menandai perpindahan pandangan penulisan sejarah dari Eropa-sentris menuju Indonesia-sentris. Perpindahan pandangan ini  tentu saja sangat berpengaruh bagi perkembangan historiografi selanjutnya. Adanya perubahan pandangan ini menjadikan bangsa Indonesia tidak lagi dipandang sebelah mata sebagai bangsa rendahan.
Tetapi pada perkembangan setelah Seminar Sejarah pada 1957, muncul beberapa permasalahan yang tampaknya cukup mengganggu, yaitu para sejarawan cenderung hanya mengekor pada tradisi historiografi kolonial. Pada permasalahan selanjutnya, para sejarawan seringkali hanya memfokuskan pada persoalan Indonesia saja. Perdebatan terus berlanjut sampai tahun 1970. Banyak perubahan yang terjadi pada tahun-tahun setelah 1970 tidak saja dalam arti pemikiran tentang bagaimana seharusnya sejarah ditulis, tetapi juga kegiatan dalam arti konkret, seperti diwujudkan dalam perkembangan kelembagaan, ideology, dan substansi sejarah.[4]
Secara kelembagaan, penulisan sejarah adalah tugas sejarawan akademik, yang memiliki tanggung jawab besar dalam perkembangan historiografi. Alasannya, sejarawan akademis adalah mereka yang paling sadar tentang apa yang dikerjakan, mempunyai pendapat yang penuh pertimbangan tentang apa yang ditulis. Sejarawan akademislah satu-satunya kelompok yang dengan sadar menyebut diri mereka sebagai seorang sejarawan, dan mendapat pengakuan demikian. Mereka inilah yang diundang dalam seminar-seminar sejarah, dan kegiatan lain yang mengandung tujuan sejarah.[5]

C.    PENGARUH SEMINAR SEJARAH NASIONAL I
Dalam kehidupan yang serba berubah dengan kebebasan pendapat umum dan akses informasi yang sangat terbatas, maka pergeseran-pergeseran akan mampu memberikan pengaruh yang besar terhadap kehidupan dalam masyarakat, termasuk pada pokok-pokok bahasan dan materi pelajaran sejarah, dan hanya mungkin terjadi manakala berlangsung perubahan-perubahan yang bersifat paradigmatik, baik dalam tataran teoritik, maupun pada tingkat politik dankekuasaan. Perkembangan baru yang bersifat teoritik dalam ilmu sejarah , tercermin dari perubahan historiografi Indonesia, yang dianggap sebagai isi sejarah dan pandangan dunia (weltanschauung) dari sifatnya yang tradisional ke modern. Fenomena itu berlangsung setelah seminar Sejarah Nasional Indonesia I di Yogyakarta tahun 1957, yang membahas persoalan filsafat sejarah, periodesasi dalam sejarah, dan pendidikan sejarah. Sejak Seminar Nasional pertama tersebut, diusulkan berbagai upaya dalam historiografi Indonesia, namun dampaknya di bidang pengajaran sjarah belum tampak jelas. Apabila lewat pengenalan sejarah kesadaran nasional dapat dipupuk dan identitas nasional menjadi landasan kuat bagi pembangunan bangsa, maka jelaslah bahwa pengkajian sejarah mempunyai fungsi fundamental dalam pembangunan bangsa serta pembentukan manusia ndonesia bermartabat.[6]
Namun terlepas dari itu penyelenggaraan Seminar Sejarah Nasional I telah menjadi suatu periode baru dalam perkembangan historiografi Indonesia dimulai dengan timbulnya studi sejarah yang kritis. Dalam perkembangaannya historiografi Indonesia modern, dimulai sekitar tahun 1957, waktu diselenggarakannya Seminar Sejarah Nasional Indonesia pertama di Yogyakarta. Tahun itu dianggap sebagai   sebagai titik tolak kesadaran sejarah baru. Pada seminar tersebut membahas tiga hal yang dianggap sangat penting ketika itu, hal tersebut antara lain fisafat sejarah nasional, periodisasi sejarah Indonesia, dan pendidikan sejarah. Perdebatan berlanjut sampai pada tahun 1970. Banyak perubahan yang terjadi pada tahun-tahun setelah 1970 tidak saja dalam arti pemikiran tentang bagaimana seharusnya sejarah ditulis, tetapi juga kegiatan dalam arti yang kongkret, seperti diwujudkan dalam perkembangan kelembagaan, ideologi, dan substansi sejarah. Secara kelembagaan, penulisan sejarah adalah tugas sejarawan akademik, kelompok yang sebenarnya mempunyai tanggung jawab terbesar dalam perkembangan historiografi. Alasannya, sejarawan akademis adalah mereka yang paling sadar tentang apa yang dikerjakan, mempunyai pendapat yang penuh pertimbangan tentang yang ditulis, tetapi kenyataannya mereka mungkin yang paling sedikit berproduksi.



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sejarah dalam suatu idang keilmuan bukan hanya diartikan sbagai suatu cerita belaka yang dapat ditulis sesuai dengan inteprestasi kita terhadap suatu peristiwa. Sejarah dalam suatu bidang keilmuan dalam penulisannya harus melewati tahap metodologi sehingga dapat dihasilkan suatu karya sejarah yang valid dan objektif. Penggunaan metodologi sejarah dalam penulisan karya sejarah baru dikenal pada fase modern.
Seperti kita tahu di Indonesia terdapat tiga fase prkembangan penulisan sejarah yaitu sejarah tradisional, sejarah kolonial,dan sejarah modern. Di periode sejarah modern inilah titik balik penulisan sejarah Indonesia dimulai dengan gaya penulisan Indonesia sentris. Untuk menyempurnakan penyajian historiografi yang berkualitas, maka pemerintah menyelenggarakan Seminar Sejarah Nasional pada 1957 untuk mnetapkan dasar-dasar penulisan sejarah.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah latar belakang dan tujuan diadakannya Seminar Sejarah Nasional I ?
2.      Bagaimana jalannya Seminar Sejarahn Nasional I ?
3.      Apakah pengaruh Seminar Sejarah Nasional I terhadap perkembangan penulisan sejarah ?
C.    Tujuan
1.      Mengetahui tujuan diadakan Seminar Sejarah I
2.      Mengetahui jalannya Seminar Sejarah I
3.      Mngetahui pengauh Seminar Sejarah I



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Seminar Sejarah Nasional I diadakan pada 14 sampai 18 Desember di Yogykarta. Seminar ini diadakan karena ketidakpuasan terhadap penulisan sejarah kolonialistik yang dikembangkan pada masa penjajahan Belanda serta di kalangan sejarawan berkembang kesadaran perlunya sejarah nasional Indonesia yang nasionalistik. Pada Seminar Sejarah Nasional I ini membahas persoalan filsafat sejarah, periodesasi dalam sejarah, dan pendidikan sejarah. Tahun itu dianggap sebagai   sebagai titik tolak kesadaran sejarah baru. Banyak yang berubah setelah diadakannya seminar tersebut tidak saja dalam arti pemikiran tentang bagaimana seharusnya sejarah ditulis, tetapi juga kegiatan dalam arti yang kongkret, seperti diwujudkan dalam perkembangan kelembagaan, ideologi, dan substansi sejarah.



DAFTAR PUSTAKA
Aman. 2011. Model Evaluasi Pembelajaran Sejarah. Yogyakarta : Penerbit Ombak.

Danar Widiyanta. 210. Perkembangan Historiografi Modern di Indonesia. (UNY: diktat tidak diterbitkan.






[3]  Danar Widiyanta. Perkembangan Historiografi Modern di Indonesia. (UNY: diktat tidak diterbitkan, 2010), hlm. 32.

[4] Ibid., hlm. 35.
[5] Ibid., hlm. 36.

[6] Aman, Model Evaluasi Pembelajaran Sejarah , ( Yogyakarta : Penerbit Ombak, 2011), hlm. 52.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar