BAB II
PEMBAHASAN
A.
LATAR
BELAKANG DAN TUJUAN SEMINAR SEJARAH NASIONAL I
Bangsa Indonesia telah lama memiliki kesadaran sejarah. Bukti kesadaran ini ditunjukkan oleh banyaknya karya
naskah yang bersebaran di daerah-daerah Indonesia. Naskah-naskah tersebut
merupakan bagian awal dari perkembangan penulisan sejarah di Indonesia. Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, historiografi
Indonesia diawali dengan perkembangan historiografi tradisional. Bentuk
historiografi tradisional tersebut adalah naskah kuno sebagaimana yang telah
dibahas. Setelah historiografi yang tradisional, kemudian berkembang penulisan
sejarah modern.
Pada abad 20 M, setelah kemerdekaan bangsa Indonesia maka masalah
sejarah nasional mendapat perhatian yang relatif besar terutama untuk
kepentingan pembelajaran di sekolah sekaligus untuk sarana pewarisan
nilai-nilai perjuangan serta jati diri bangsa Indonesia.
Ditandai dengan:
·
Mulai muncul
gerakan Indonesianisasi dalam berbagai bidang sehingga istilah-istilah asing
khususnya istilah Belanda mulai diindonesiakan selain itu buku-buku berbahasa
Belanda sebagian mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
·
Mulai Penulisan
sejarah Indonesia yang berdasarkan pada kepentingan dan kebutuhan bangsa dan
negara Indonesia dengan sudut pandang nasional.
·
Orang-orang dan
bangsa Indonesialah yang menjadi subjek/pembuat sejarah, mereka tidak lagi
hanya sebagai objek seperti pada historiografi kolonial.
·
Penulisan buku
sejarah Indonesia yang baru awalnya hanya sekedar menukar posisi antara tokoh
Belanda dan tokoh Indonesia.
Jika awalnya tokoh Belanda sebagai pahlawan sementara
orang pribumi sebagai penjahat, maka dengan adanya Indonesianisasi maka
kedudukannya terbalik dimana orang Indonesia sebagai pahlawan dan orang Belanda
sebagai penjahat tetapi alur ceritanya tetap sama.
Merupakan penulisan sejarah yang mengungkapkan
kehidupan bangsa dan rakyat Indonesia dalam segala aktivitasnya, baik politik,
ekonomi, sosial, maupun budaya dari sudut pandang bangsa Indonesia.
Ciri-ciri penulisan sejarah nasional antara lain:
·
Bersifat Indonesia sentries,
·
Sesuai dengan cara pandang bangsa Indonesia,
·
Mengandung character and nation-bulding
(pembangunan karakter bangsa)
·
Disusun oleh orang-ornag atau penulis-penulis Indonesia
sendiri.
Menurut Klooster mengenai tentang Seminar Nasional
Sejarah I tahun 1957, secara garis besar, temuan Klooster dapat diringkas
sebagai berikut. Pertama, di kalangan sejarawan terdapat ketidakpuasan terhadap
penulisan sejarah kolonialistik yang dikembangkan pada masa penjajahan Belanda,
karena tidak mengungkapkan vitalitas yang dimiliki masyarakat Indonesia
(Klooster, 1985: 23). Kedua, di kalangan sejarawan berkembang kesadaran
perlunya sejarah nasional Indonesia yang nasionalistik, yaitu menempatkan
masyarakat Indonesia sebagai pemeran sentral. Ketiga, terdapat perbedaan
pandangan di antara peserta seminar, terutama Soedjatmoko dan Muhammad Yamin,
tentang landasan filosofis dan metodologi yang digunakan untuk menyusun sejarah
nasional Indonesia (Klooster, 1985: 75-87).[1]
Pada periode terakhir, yaitu masa demokrasi
terpimpin dan orde baru, Klooster menemukan kecenderungan penulisan sejarah
lokal oleh sejarawan akademik. Seakan ada pemahaman umum bahwa untuk menyusun
sejarah nasional yang komprehensif harus memahami sebanyak mungkin sejarah
lokal atau daerah. Para sejarawan meneliti berbagai fenomena historis dengan
fokus terutama pada kajian sosial ekonomi untuk memperoleh pemahaman pengaruh
kolonial terhadap kehidupan masyarakat daerah (Klooster, 1985: 121).
Keadaaan yang demikian membuat para sejarawan dan
pengamat sejarah terdorong untuk mengadakan ”Kongres Sejarah Nasional” yang
pertama yaitu pada tahun 1957. Pada kongres kedua namanya diubah menjadi
”Seminar Nasional Sejarah”, membicarakan mengenai rencana untuk pembuatan
sebuah buku sejarah nasional baru dengan harapan dapat dijadikan semacam buku
referensi. Oleh karena
itu penulisan sejarah yang seharusnya adalah:[2]
a.
Sebuah penulisan
yang tidak sekedar mengubah pendekatan dari eropasentris menjadi
indonesiasentris, tetapi juga menampilkan hal-hal baru yang sebelumnya belum
sempat terungkap.
b.
Penulisan
sejarah dengan cara yang konvensional (yang hanya mengandalkan naskah sebagai
sumber sejarah) yang bersifat naratif, deskriptif, kedaerahan, serta tema-tema
politik dan penguasa diganti dengan cara penulisan sejarah yang kritis
(struktural analitis).
c.
Menggunakan
pendekatan multidimensional.
d.
Mengungkapkan
dinamika masyarakat Indonesia dari berbagai aspek kehidupan yang kemudian dapat
dijadikan bahan kajian untuk memperkaya penulisan sejarah Indonesia.
Penulisan sejarah Indonesia modern bertujuan untuk
melakukan perbaikan dengan menggantiklan beberapa hal seperti:
ü Adanya pandangan religio-magis serta kosmologis
seperti tercermin dalam babad atau hikayat diganti dengan pandangan
empiris-ilmiah.
ü Adanya pandangan etnosentrisme diganti dengan
pandangan nationsentris.
ü Adanya pandangan sejarah kolonial-elitis diganti
dengan sejarah bangsa Indonesia secara keseluruhan yang mencakup berbagai
lapisan sosial.
B.
JALANNYA
SEMINAR SEJARAH NASIONAL I
Banyak buku yang bertema sejarah pada masa revolusi
menimbulkan dalam pembelajaran di sekolah maupun bagi kalangan umum. Kekacauan
yang terjadi pada masa itu tidak memberikan dukungan yang berarti bagi pemicu
semangat kebangsaan di bidang pendidikan. Oleh karena itu, Kementrian
pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia mengeluarkan sebuah kebijakan yang
memutuskan tentang penyelenggaraan seminar sejarah serta menyerahkan sepenuhnya
penyelenggaraannya kepada Universitas Gadjah Mada dan Universitas Indonesia.
Beberapa masalah yang menjadi kendala bagi kementrian
pendidikan dan kebudayaan diantaranya yaitu:[3]
1. Demi kepentingan nasional, terdapat permasalahan
politis untuk menentukan dan
mengembangkan kepribadian bangsa.
2.
Terdapat
permasalahan ilmiah yang muncul dari tuntutan-tuntutan studi sejarah, yang
mungkin bertentangan dengan kepentingan politis.
Untuk memecahkan persoalan penulisan sejarah yang
indonesiasentris, maka diadakanlah Seminar Sejarah Nasional I pada tanggal 14
sampai dengan 18 Desember 1957 di Yogyakarta. Seminar ini dilaksanakan melalui
Keputusan Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan tanggal 13 Maret 1957
No.28201/5.
Masalah
tersebut nampak pada susunan topic yang menjadi pembicaraan dalam seminar
sejarah, yaitu:
I.
Konsep Filosofis
Sejarah Nasional.
II. Periodisasi Sejarah Indonesia.
III. Syarat Penulisan Buku Pelajaran Sejarah Nasional.
IV. Pengajaran Sejarah Indonesia di Sekolah-sekolah.
V. Pendidikan Sejarawan.
VI. Pemeliharaan dan Penggunaan bahan-bahan Sejarah.
Topik
I-IV mencerminkan adanya keinginan untuk mencapai keseragaman mutlak dalam
penyajian sejarah nasional. Dalam pandangan tersebut, keseragaman merupakan
faktor yang penting dalam proses pembentukan kepribadian bangsa, sehingga
sejarah nasional diharapkan mempunyai fungsi penting dalam sistem pendidikan
nasional. Namun karena mengalami kegagalan, seminar tersebut hanya menghasilkan
pendapat
yang simpang siur dan membingungkan karena tidak
berpedoman pada disiplin ilmu sejarah.
Pembicaraan
yang berkembang pada seminar ini menurut Moh. Ali, forum Seminar Sejarah
Nasional belum mengarah pada penulisan dan pengajaran sejarah Indonesia sebagai
Sejarah Nasional. Hal ini dapat dimaklumi mengingat pada saat itu di Indonesia
belum banyak ahli sejarah yang benar-benar berlatar belakang pendidikan sejarah
atau sejarawan. Dalam forum tersebut, pembicaraan yang lebih menonjol yaitu
pemikiran mengenai mungkin tidaknya penyusunan suatu filsafat Sejarah Nasional.
Pembicaraan tentang filsafat sejarah nasional banyak dibicarakan oleh Moh.
Yamin dan Sujatmoko.
Perkembangan
historiografi Indonesia modern ditandai dengan diselenggarakannya Seminar
Sejarah Nasional di Yogyakarta. Seminar ini dilaksanakan pada tahun 1957. Sejak
adanya seminar sejarah, penulisan sejarah yang ada di Indonesia mulai dilakukan
oleh orang Indonesia sendiri. Sistem yang digunakan sudah mulai beranjak
menggunakan sistem Indonesia sentries. Dengan demikian unsure subyektifitas
dapat dipertanggung jawabkan karena yang menulis sejarah adalah orang yang
berada pada saat peristiwa terjadi atau setidaknya merupakan orang Indonesia
asli.
Pada
masa itu, khasanah historiografi Indonesia mulai bertambah luas.
Peranan-peranan rakyat biasa mulai nampak terlihat sebagai pelaku sejarah. Pada
awalnya penulisan sejarah hanya dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan
tinggi dalam pemerintahan, ataupun para tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam
negara. Hal itu muncul karena, pada masa-masa kemerdekaan historiografi yang
muncul bisa dibilang sebagai alat untuk menumbbuhkan rasa nasionalisme di tengah-tengah
masyarakat. Adanya seminar sejrah nasional juga menandai perpindahan pandangan
penulisan sejarah dari Eropa-sentris menuju Indonesia-sentris. Perpindahan
pandangan ini tentu saja sangat
berpengaruh bagi perkembangan historiografi selanjutnya. Adanya perubahan
pandangan ini menjadikan bangsa Indonesia tidak lagi dipandang sebelah mata
sebagai bangsa rendahan.
Tetapi
pada perkembangan setelah Seminar Sejarah pada 1957, muncul beberapa
permasalahan yang tampaknya cukup mengganggu, yaitu para sejarawan cenderung
hanya mengekor pada tradisi historiografi kolonial. Pada permasalahan
selanjutnya, para sejarawan seringkali hanya memfokuskan pada persoalan
Indonesia saja. Perdebatan terus berlanjut sampai tahun 1970. Banyak perubahan
yang terjadi pada tahun-tahun setelah 1970 tidak saja dalam arti pemikiran
tentang bagaimana seharusnya sejarah ditulis, tetapi juga kegiatan dalam arti
konkret, seperti diwujudkan dalam perkembangan kelembagaan, ideology, dan
substansi sejarah.[4]
Secara
kelembagaan, penulisan sejarah adalah tugas sejarawan akademik, yang memiliki
tanggung jawab besar dalam perkembangan historiografi. Alasannya, sejarawan
akademis adalah mereka yang paling sadar tentang apa yang dikerjakan, mempunyai
pendapat yang penuh pertimbangan tentang apa yang ditulis. Sejarawan
akademislah satu-satunya kelompok yang dengan sadar menyebut diri mereka
sebagai seorang sejarawan, dan mendapat pengakuan demikian. Mereka inilah yang
diundang dalam seminar-seminar sejarah, dan kegiatan lain yang mengandung
tujuan sejarah.[5]
C.
PENGARUH
SEMINAR SEJARAH NASIONAL I
Dalam
kehidupan yang serba berubah dengan kebebasan pendapat umum dan akses informasi
yang sangat terbatas, maka pergeseran-pergeseran akan mampu memberikan pengaruh
yang besar terhadap kehidupan dalam masyarakat, termasuk pada pokok-pokok
bahasan dan materi pelajaran sejarah, dan hanya mungkin terjadi manakala
berlangsung perubahan-perubahan yang bersifat paradigmatik, baik dalam tataran
teoritik, maupun pada tingkat politik dankekuasaan. Perkembangan baru yang
bersifat teoritik dalam ilmu sejarah , tercermin dari perubahan historiografi
Indonesia, yang dianggap sebagai isi sejarah dan pandangan dunia
(weltanschauung) dari sifatnya yang tradisional ke modern. Fenomena itu
berlangsung setelah seminar Sejarah Nasional Indonesia I di Yogyakarta tahun
1957, yang membahas persoalan filsafat sejarah, periodesasi dalam sejarah, dan
pendidikan sejarah. Sejak Seminar Nasional pertama tersebut, diusulkan berbagai
upaya dalam historiografi Indonesia, namun dampaknya di bidang pengajaran
sjarah belum tampak jelas. Apabila lewat pengenalan sejarah kesadaran nasional
dapat dipupuk dan identitas nasional menjadi landasan kuat bagi pembangunan
bangsa, maka jelaslah bahwa pengkajian sejarah mempunyai fungsi fundamental dalam
pembangunan bangsa serta pembentukan manusia ndonesia bermartabat.[6]
Namun
terlepas dari itu penyelenggaraan Seminar Sejarah Nasional I telah menjadi suatu periode baru dalam perkembangan historiografi
Indonesia dimulai dengan timbulnya studi sejarah yang kritis.
Dalam perkembangaannya historiografi Indonesia modern,
dimulai sekitar tahun 1957, waktu diselenggarakannya Seminar Sejarah Nasional
Indonesia pertama di Yogyakarta. Tahun itu dianggap sebagai sebagai
titik tolak kesadaran sejarah baru. Pada seminar tersebut membahas tiga hal
yang dianggap sangat penting ketika itu, hal tersebut antara lain fisafat
sejarah nasional, periodisasi sejarah Indonesia, dan pendidikan sejarah.
Perdebatan berlanjut sampai pada tahun 1970. Banyak perubahan yang terjadi pada
tahun-tahun setelah 1970 tidak saja dalam arti pemikiran tentang bagaimana
seharusnya sejarah ditulis, tetapi juga kegiatan dalam arti yang kongkret,
seperti diwujudkan dalam perkembangan kelembagaan, ideologi, dan substansi
sejarah. Secara kelembagaan, penulisan sejarah adalah tugas sejarawan akademik,
kelompok yang sebenarnya mempunyai tanggung jawab terbesar dalam perkembangan
historiografi. Alasannya, sejarawan akademis adalah mereka yang paling sadar
tentang apa yang dikerjakan, mempunyai pendapat yang penuh pertimbangan tentang
yang ditulis, tetapi kenyataannya mereka mungkin yang paling sedikit
berproduksi.
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sejarah
dalam suatu idang keilmuan bukan hanya diartikan sbagai suatu cerita belaka
yang dapat ditulis sesuai dengan inteprestasi kita terhadap suatu peristiwa.
Sejarah dalam suatu bidang keilmuan dalam penulisannya harus melewati tahap
metodologi sehingga dapat dihasilkan suatu karya sejarah yang valid dan
objektif. Penggunaan metodologi sejarah dalam penulisan karya sejarah baru
dikenal pada fase modern.
Seperti
kita tahu di Indonesia terdapat tiga fase prkembangan penulisan sejarah yaitu
sejarah tradisional, sejarah kolonial,dan sejarah modern. Di periode sejarah
modern inilah titik balik penulisan sejarah Indonesia dimulai dengan gaya
penulisan Indonesia sentris. Untuk menyempurnakan penyajian historiografi yang
berkualitas, maka pemerintah menyelenggarakan Seminar Sejarah Nasional pada
1957 untuk mnetapkan dasar-dasar penulisan sejarah.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apakah
latar belakang dan tujuan diadakannya Seminar Sejarah Nasional I ?
2. Bagaimana
jalannya Seminar Sejarahn Nasional I ?
3. Apakah
pengaruh Seminar Sejarah Nasional I terhadap perkembangan penulisan sejarah ?
C.
Tujuan
1. Mengetahui
tujuan diadakan Seminar Sejarah I
2. Mengetahui
jalannya Seminar Sejarah I
3. Mngetahui
pengauh Seminar Sejarah I
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Seminar Sejarah Nasional I diadakan pada
14 sampai 18 Desember di Yogykarta. Seminar ini diadakan karena ketidakpuasan
terhadap penulisan sejarah kolonialistik yang dikembangkan pada masa penjajahan
Belanda serta di kalangan sejarawan berkembang kesadaran perlunya sejarah
nasional Indonesia yang nasionalistik. Pada Seminar Sejarah Nasional I ini membahas
persoalan filsafat sejarah, periodesasi dalam sejarah, dan pendidikan sejarah. Tahun itu dianggap sebagai sebagai titik
tolak kesadaran sejarah baru. Banyak yang berubah
setelah diadakannya seminar tersebut tidak
saja dalam arti pemikiran tentang bagaimana seharusnya sejarah ditulis, tetapi
juga kegiatan dalam arti yang kongkret, seperti diwujudkan dalam perkembangan
kelembagaan, ideologi, dan substansi sejarah.
DAFTAR
PUSTAKA
Aman. 2011. Model Evaluasi Pembelajaran Sejarah.
Yogyakarta : Penerbit Ombak.
Danar Widiyanta. 210. Perkembangan Historiografi Modern di Indonesia. (UNY: diktat
tidak diterbitkan.
http://sketsadamai.blogspot.com/2012/12/memperbaiki-penulisan-sejarah-dalam.html,
diakses pada 9 Desember 2013.
http://nadyalathifa.blogspot.com/2013/04/penulisan-sejarah-historiografi.htm,
diakses pada 09 Desember 2013.
[1] http://sketsadamai.blogspot.com/2012/12/memperbaiki-penulisan-sejarah-dalam.html,
diakses pada 9 Desember 2013.
[2] http://nadyalathifa.blogspot.com/2013/04/penulisan-sejarah-historiografi.htm,
diakses pada 09 Desember 2013.
[3] Danar
Widiyanta. Perkembangan Historiografi
Modern di Indonesia. (UNY: diktat tidak diterbitkan, 2010), hlm. 32.
[4] Ibid., hlm. 35.
[5] Ibid., hlm. 36.
[6] Aman, Model Evaluasi Pembelajaran Sejarah , (
Yogyakarta : Penerbit Ombak, 2011), hlm. 52.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar