BAB
I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Historiografi
dalam arti luas merupakan sejarah penulisan sejarah yang berisi aktivitas
manusia dan peradaban pada masa lampau yang didalamnya terdapat sesuatu yang
berkesinambungan, kausalitas dan perubahan yang didalamnya terdapat teori dan
metodologi yang isinya mempunyai kesatuan yang utuh. Historiografi adalah
relistruksi imajinatif masa lampau manusia pada masa lampau berdasarkan
bukti-bukti dan data-data yang diperoleh melalui proses menguji dan menganalisa
secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Penulisan sejarah zaman dahulu atau
historiografi tradisional pada zaman dahulu dilakukan oleh para pujangga. Walau
belum mengetahui secara pasti apa fungsi penulisan sejarah, tapi penulisan
sejarah banyak dilakukan. Penulisan tersebut dilakukan atas dasar keinginan
sendiri atau atas dasar permintaan seorang raja.
Sebelum
sejarah ditulis oleh para pujangga pada zaman dahulu, sejarah sudah disampaikan
melalui cerita. Yang dikenal dengan tradisi kecil dan tradisi besar. Tradisi
kecil merupakan penyampaian sejarah melalui cerita lisan, Sedangkan tradisi
besar merupaka penyampaian sejarah melalui tulisan. Tradisi kecil berlangsung
sebelum ada Tulisan, belum ada bahasa sansekerta dan tulisan jawa. Kemudian
melalui proses yang sangat panjang tradisi kecil tersebut berkembang menjadi
tradisi besar, tentu saja seiring dengan ada dan berkembangnya tulisan, bahasa
sansekerta dan bahasa jawa; Penulisan sejarah yang ada sebagian besar ditemukan
di istana, maka penulisan sejarah pada zaman dahulu bersifat istana sentris.
Tradisi besar atau tradisi tulisan
yaitu penyampaian sejarah melalui tulisan. Tradisi tulisan tentu saja ada
setelah manusia mengenal tulisan. Tulisan yang menjadi sasaran penulis
dipandang sebagai hasil budaya yang berupa cipta sastra. Tulisan yang berupa
naskah itu dipandang sebagai cipta sastra karena teks yang terdapat di dalam
naskah itu merupakan suatu keutuhan dan mengungkapkan pesan. Pesan yang terbaca
dalam teks secara fungsional berhubungan erat dengan filsafat hidup masyarakat
pendukungnya. Teks tulisan dapat berupa tulisan tangan, tetapi dapat pula
tulisan cetakan.
Tulisan atau Naskah-naskah kuno yang
tersimpan di museum-museum, perpustakaan-perpustakaan, maupun yang tersimpan
pada anggota masyarakat di seluruh pelosok tanah air, merupakan warisan nenek
moyang bangsa yang sangat berharga, karena pada naskah-naskah kuno itulah
terkandung informasi tentang keadaan, gambaran, sikap, pandangan, dan cita-cita
mereka semasa hidupnya. Saat ini bagi anak-cucunya, karya mereka jelas
merupakan dasar budaya bangsa Indonesia, Naskah kuno di Indonesia bersisikan
berbagai ragam, mulai dari naskah kesusastraan dalam arti terbatas sampai
keagamaan, kemasyarakatan, sejarah, yang sangat penting bagi pengetahuan kebudayaan
tiap-tiap daerah dan sebagai keseluruhan dapat memberikan gambaran lebih jelas
mengenai kebudayaan Indonesia pada umumnya. Umumnya naskah-naskah kuno itu
ditulis dalam bahasa daerah dan menggunakan aksara daerah. Oleh sebab itu, para
penulis dalam hal ini adalah pujangga, pujangga Nusantara memang harus
menguasai bahasa dan aksara daerah Nusantara.
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah yang dimaksud tradisi tulisan ?
2.
Apakah yang dimaksud tradisi lisan ?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui apayang dimaksud tradisi tulisan
2.
Untuk mengetahui apa yang dimaksud tradisi lisan
BAB
II
Tradisi
Tulisan dan Tradisi Lisan
A. Tradisi
Tulisan
Awal perkembangan penulisan sejarah di
Indonesia dimulai dengan adanya penulisan sejarah dalam bentuk naskah. Beberapa
sebutan untuk naskah-naskah yaitu babad, hikayat, kronik, tambo dan lain-lain.
Bentuk penulisan sejarah pada naskah tersebut, termasuk dalam kategori
historiografi tradisional, sebutan ini untuk membedakan dengan historiografi
tradsional. Historiogarfi modern sudah lebih dulu berkembang di barat. Ciri
Historiografi modern yang membedakan dengan historiografi tradisional adalah
penggunaan fakta. Fakta menjadi kenyataan sejarah.
Perkembangan historiografi seiring
dengan perkembangan alam pikiran manusia. Historiogarfai di Indonesia seiring
pula dengan perkembangan sejarah Indonesia. Salah satu perkembangan penting
dalam penulisan sejarah di Indonesia yang mengarah pada bentuk historiografi
yang modern adalah penulisan sejarah yang ditulis oleh orang Belanda. Sebuah
tim yang terdiri dari para sarjana ahli sejarah dan diketuai Dr. FW. Stapel.
Judul buku sejarah yang ditulis tersebut adalah Geschiedenis van Nederlandsch Indie (Sejarah Hindia Belanda).
Penulisan Stapel dianggap
Neerlandosentris. Dalam perkembangan kemudian banyak mendapat kritikan. Sejak
awal kemerdekaan semanagat penulisan sejarah Indonesiasentris telah muncul.
Salah satu cara yang dilakukan oleh para penulis sejarah Indonesia, khususnya
penulis buku-buku pelajaran sejarah, mengubah judul buku sejarahnya menjadi
“Sejarah Indonesia”. Penulisan buku sejarah ini khususnya diperuntukan
kepentingan sekolah.
Pada masa pendudukan Jepang, pelajaran
sejarah mendapatkan pengawasan yang ketat dari badan propaganda dan kebudayaan
bentukan pemerintah Militer Jepang. Pemerintahan Jepang salah satu upaya menhilangkan
pengaruh barat (Belanda) terhadap kaum pribumi melaui jalur pendidikan,
sehingga istilah “Sejarah Tanah Hindia” diubah menjadi “Sejarah Indonesia”.
Berakhirnaya pendudukan Jepang, muncul buku pegangan yang dipakai di sekolah.
Buku tersebut ada yang resmi ditulis oleh guru sendiri yang berupa diktat
maupun diterbitkan menjadi buku. Da beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam
penulisan sejarah Indonesia sebagai upaya dekolonisasai yaiu :
1. Sejarah
Indonesia yang wajar adalah sejarah yang mengungkapakan “Sejarah dari dalam”
dimana bangsa Indonesia sendiri memegang peranan pokok.
2. Proses
perkembangan bangsa masyarakat Indonesia hanya dapat diterangakan sejelas-jelasnya
dengan menguraikan faktor atau kekuatan yang mempengaruhinya, baik ekonomi,
sosial, politik ataupun kultural.
3. Pengungkapan
aktivitas dari berbagai golongan masyarakat, tidak hanya para bangsawan, atau
kstaria, tetapi juga dari kaum ulama atau petani serta golongan-golongan
lainnya.
4. Untuk
menyusun sejarah Indonesia sebagai suatu sintese, dimana digambarkan proses
yang menunjukan perkembangan kearah kesatuan geo-politik seperti yang kita
hadapi dewasa ini maka prinsip intregasi perlu dipergunakan untuk mengukur
seberapa jauh integrasi itu dalam masa-masa tertentu telah tercapai.
Adanaya filsafat sejarah nasional
agar penulisan sejarah Indonesia mempunyai sendi yang berdasarkan alam pikiran
untuk menyusun sejarah Indonesia kembali. Pada tahun 1963 dibentuk panitia
untuk melaksanakan penulisan kembali sejarah Indonesia, namun karena pada
tahun-tahun berikutnya di negara kita terjadi ketegangan sosial dan krisis
politik, menyebabkan panitia tidak dapat menghasilkan sesuatu. Titik terang
dalam perkembangan penulisan buku sejarah nasional kembali muncul dengan
diselenggarakannya Seminar Sejarah Nasional Kedua di Yogyakarta tahun 1970.
Upaya perbaikan terhadap penulisan sejarah Indonesia terus dilakukan. Penulisan
sejarah tidak hanya dengan pendekatan struktural , namun juga muncul pendekatan
strukturis.[1]
Historiografi Indonesia modern baru dimulai sekitar tahun 1957, waktu
diselenggarakannya Seminar Nasional Indonesia Pertama di Yogyakarta.
Agenda Seminar itu meliputi
filsafat sejarah nasional, periodesasi Sejarah Indonesia, dan pendididkan sejarah.
Dari sinilah mulai nasionalisasi atau untuk menggunakan istilah saat ini
“pribumisasi” historiografi Indonesia. Sebagai usaha tambahan terhadap
penulisan sejarah, dapat disebutkn usaha-usaha penerbitan arsip yang dikerjakan
oleh Arsip Nasional. Tulisan ini akan meliputi juga kegiatan
penerbitan-penerbitan yang tidak secara khusus mengklaim sebaga penerbit
sejarah, tetapi yang dalam kenyataannya menyumbang besar terhadap pemahaman
sejarah, seperti penerbitan buku-buku “kenangan” ulang tahun tokoh-tokoh
sejarah. Dalam penulisan sejarah
kontemporer, misalnya, penulis-penulis skripsi tidak saja ingat persoalan
politik, tetapi sudah menjangkau masalah-masalah sosial, agama, budaya dengan
pendekatan-pendekatan baru berdasar pengetahuan mereka mengenai ilmu-ilmu
sosial.[2]
B. Tradisi
Lisan
Sejarah lisan tampak sebagai sebuah
metode untuk menggali pengalaman orang biasa, mengatasai keterbatasan dokumen
tertulis yang tidak banyak dan sering tidak terawat. Sejarah lisan menurut
perimbangan antar berbagai prioritas yang saling bersaing, dan banyak dari
prioritas ini berkaitan dengan kepekaan peneliti akan hubungan pribadi anatar
manusia. Sisi afektif dan emosi dalam penelitian sejarah paling menonjol dalam
sejarah lisan, karena dalam sejarah lisan kita berdialog dengan orang-orang
hidup.[3]
Sejarawan besar profesional abad ke-19
asal pranci, Jules Michelet. Profesor Ecole Normale, Sorbone dan College de
Farnce, serta kurator kepala pada Arsip Nasional, menulis karyannya History of the French Revolutions
(1847-53), ia beranggapan bahwa dokumen tertulis harusnya menjadi salah satu
sumber saja. Dalam jangka sepuluh tahun dia mengumpulkan bukti-bukti lisan
secara sistematis di luar Paris. Niatnya menyeimbangkan bukti berupa
dokumen-dokumen resmi dengan penilaian politis yang di dapat dari tradisi lisan
populer.
Ketika mengatakan sejarah lisan, yang
dia maksud adalah tradisi nasional, yang umumnya tersebar dalam mulut semua
orang, yang dikatakan dan diulangi setiap orang, petani, orang udik, orang tua,
perempuan, bahkan kanak-kanak; yang dapat kau dengar ketika memasuki kedai
minum desa di malam hari; yang dapat kau kumpulkan dan temukan pada pejalan
kaki yang tengah berhenti, kau mulai bercakap-cakap dengannya tentang hujan,
musim, kemudian tentang persediaan makanan, zaman-zaman para kaisar,
zaman-zaman revolusi.[4]
Peristiwa-peristiwa pada masyarakat
yang belum mengenal tulisan, tidak meninggalkan bukti-bukti tertulis. Jika
menjelaskan suatu asal-usul tempat, maka yang dijadikan bukti hanya bukti benda
atau artefak dari benda itu sendiri. Penjelasan asal-usul tempat itu lebih
banyak berupa cerita lisan. Cerita tersebut akan terus menerus diceritakan dari
mulut ke mulut, dari generasi ke generasi sehingga menjadi sutu tradisi atau
menjadi tradisi lisan. Tardisi lisan merupakan cara yang dilakukan oleh
masyarakat yang belum mengenal tulisan dalam merekam dan mewariskan pengalaman
masa lalu dari masyarakatanya.
Tradisi lisan berfungsi sebagai alat
“mnemonik” usaha untuk merekam, menyusun dan menyimpan pengetahuan demi
pengajaran dan pewarisannya dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Masyarakat pendukung tradisi lisan lebih mementingkan retorika ceritanya
daripada kebenaran faktanya. Pewarisan ini dilakuakan agar masyarakat yang
menjadi generasi berikutnya memiliki rasa kepemilikan atau mencintai cerita
masa lalunya. Tardisi lisan dalam bentuk pesan-pesan verbal yang berupa
pernyataan-pernyataan lisan yang diucapakan, dinyanyikan atau disampaikan lewat
musik. Asal tradisi lisan dari generasi sebelumnya karena memiliki fungsi
penafsiran, sedangkan di dalam sejarah lisan, tidak ada upaya untuk pewarisan .[5]
Tradisi lisan tidak termasuk
kesaksian mata yang merupakan data lisan. Juga tidak termasuk rerasan
masyarakat yang meskipun lisan tetapi tidak ditularkan dari satu generasi ke
generasi lain. Tradisi lisan terbatas dalam kebudayaan lisan dari masyarakat
yang belum mengenal tulisan. Tradisi lisan mengandung nilai-niali moral,
keagamaan, adat-istiadat, cerita-cerita khayal, peribahasa, nyanyian, mantra.
Dalam ilmu antropologi tradisi lisan sebagai sumber data bagi penelitian sudah
dipergunakan sejak awaltimbulnya ilmu itu, tetapi dalam ilmu sejarah penggunaan
tradisi lisan masih merupakan hal yang baru.[6]
Tradisi lisan muncul berkaitan
dengan usaha mengabadikan pengalaman-pengalaman kelompok dimasa lampau melalui
cerita yang diturunkan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Menurut
Vansia unsur penting dalam tradisi lisan adalah pesan-pesan verbal yang berupa
pernyataan-pernyataan yang pernah dibuat dimasa lampau oleh generasi yang hidup
sebelum generasi yang sekarang ini. Yang perlu diperhatikan dalam hubungan
tardisi lisan ini adalah:
1. menyangkut
pesan-pesan yang berupa pernyataan-pernyataan lisan yang diucapakan,
dinyanyikan atau disampaikan lewat musik atau alat bunyi-bunyian.
2. Tradisi
lisan berasal dari generasi sebelum generasi sekarang, paling sedikit satu
generasi sebelumnya.
Menurut Vansia, tradisi lisan bisa
dibedakan menjadi beberpa jenis :
1. Petuah-petuah
yang sebenarnya merupakan rumusan kalimat yang dianggap punya arti khusus bagi
kelompok, yang biasannya disitat secara berulang-ulang untuk menegaskan satu
pandangan kelompok yang diharapakan jadi pegangan bagi generasi-generasi
berikutnya. Rumusan kalimat biasannya diusahakan tidak diubah-ubah meskipun
dalam kenyataan perubahan bisa terjadi terutama sesudah melewati beberapa
generasi, apalagi penerusannya bersifat lisan, jadi sukar dicek dari rumusan
aslinya. Namun karena kedudukannya istimewa dalam kelompok, maka tetap diyakini
bahwa rumusan itu tidak berubah.
2. Kisah
tentang kejadian-kejadian disekitar kehidupan kelompok, baik sebagai kisah
perseorangan atau kelompok. Kisah yang sebenarnya berintikan fakta tertentu,
fakta inti dengan cepat biasannya diselimuti unsur kepercayaan atau
pencampuradukan anatar fakta dengan kepercayaan itu. Cara penyampaian fakta
memang seperti penyampaian gosip (penuh dengan tambahan menurut selera
penuturnya. Vanisa memberi istilah “historical gossip” (gosip yang berniali
sejarah).
3. Cerita
kepahlawanan yang berisi bermacam gambaran tentang tindakan kepahlawanan yang
mengagumkan bagi kelompok pemiliknya yang biasannya berpusat pada tokoh-tokoh
tetentu dari kelompok itu.
4. Cerita
Dongeng yang umumnya bersifat fiksi belaka. Biasanya berfungsi umtuk
menyenangkan bagi yang mendengarkannya.
Tradisi
lisan sering dihubungkan dengan folklor, karena foklor menyangkut tradisi dalam
kelompok masyarakat atau komunitas tetentu, Pewarisan melaui cara lisan atau
tutur kata. Tardisi lisan hanyalah bagian dari foklor. Tardisi lisan mempunyai
keterbatasan yaitu adanya unsur subjektifitas lebih besar dibandingkan unsur
tertulis. Yang menjadi masalah dalam tradisi lisan adalah penerapan konsep
kausalitas dalam uraian ceritannya. Tradisi lisan memuat informasi luas tentang
kehidupan suatu komunitas dengan
berbagai aspeknya.[7]
Tradisi lisan adalah berbagai pengetahuan dan adat kebiasaan yang
secara turun-menurun disampaikan secara lisan dan mencakup hal-hal tidak hanya
berisi cerita rakyat, mite, dan legenda. Tradisi lisan diartikan sebagai
“segala wacana yang diucapkan meliputi yang lisan dan hanya beraksara.” Menurut
Suripan Sadi Hitomo (1991:11), tradisi lisan itu mencakup beberapa hal, yakni
(1) yang berupa kesusutraan lisan, (2) yang berupa teknologi tradisional, (3)
yang berupa pengetahuan folk di luar pusat-pusat istana dan kota
metropolitan, (4) yang berupa unsur-unsur religi dan kepercayaan folk di
luar batas formal agama-agama besar, (5) yang berupa kesenian folk di luar
puast-pusat istana dan kota metropolitan, dan (6) yang berupa hukum adat.
Kemudian pudentia (1999:32-35) memberikan pemohonan tentang hakikat orality
sebegai berikut.
Tradisi lisan (oral tradition) mancakup
segala hal yang berhubungan dengan sastera, bahasa, sejarah, biografi, dan
berbagai pengetahuan serta jenis kesenian lain yang disampaikan dari mulut ke
mulut. Jadi tradisi lisan tidak hanya mencakup cerita rakyat, teka-teki,
peribahasa, nyanyian rakyat, mitologi, dan legenda, seperti yang umumya diduga
orang, tetapi juga berkaitan dengan sistem kognitif kebudayaan, seperti sejarah
hukum, dan pengobatan. Tradisi lisan adalah “segala wacana yang diucapkan atau
disampaikan secara turun-temurun meliputi yang lisan dan yang berraksara” dan
diartikan juga sebagai “sistem wacana yang bukan beraksara.” Tradisi lisan
tidak hanya di miliki oleh orang lisan saja. Implikasi kata “lisan” dalam
pasangan lisan tertulis berbeda dengan lisan beraksara. Lisan yang pertama
(oracy) mengandung maksud kebebasan bersuara; sedangkan lisan kedua (orality)
dalam maksud beraksara kebolehan bertutur secara beraksara.
Kelisanan dalam masyarakat berakasara sering
diartikan sebagai hasil dari masyarakat yang terpelajar; sesuatu yang belum
dituliskan; sesuatu yang dianggap belum sempurna atau matang, dan sering
dinilai dengan kriteria keberaksaraan. Bila diberikan deskripsi tentang
kelisanan dengan memakai ukuran dari hal-hal yang berasal dari dunia
keberaksaraan, masih ada hal-hal tertentu yang khas dari kelisanan yang belum
terungkap ada pula hal-hal yang diungkapkan, tetapi tidak diwujudkan. Hal ini
tidaklah berarti bahwa kelisanan sama sekali terlepas dari dunia keberaksaraan
atau sebaiknya, dunia keberaksaraan tidak berkaitan dengan dunia kelisanan.
Hubungan di antara tradisi lisan dan tradisi tulis khususnya dalam dunia melayu
didasari oleh anggapan bahwa dengan mengetahui interaksi keduanya, bru dapat
memahami masing-masing tradisi tersebut. Pada beberapa tempat hubungan atau
penulisan tradisi lisan ke dalam naskah tertulis, sebagaimana telah dijelaskan
pada hakikat keselisihan di atas, tertentu memiliki latar belakang yang
berbeda-beda dalam perjalanannya, naskah-naskah yang berawal dari riwayat lisan
menimbulkan banyak versi. Hal ini dipengaruhi oleh selera penulis atau penyaliannya.[8]
BAB III
Penutup
Historiografi adalah relistruksi
imajinatif masa lampau manusia pada masa lampau berdasarkan bukti-bukti dan
data-data yang diperoleh. Data-data tersebut menjadi dua kategori yaitu tulisan
dan lisan. Yang dikenal dengan tradisi kecil dan tradisi besar. Tradisi kecil
merupakan penyampaian sejarah melalui cerita lisan, Sedangkan tradisi besar
merupaka penyampaian sejarah melalui tulisan. Tradisi kecil berlangsung sebelum
ada Tulisan.
Awal
perkembangan penulisan sejarah di Indonesia dimulai dengan adanya penulisan
sejarah dalam bentuk naskah.Salah satu perkembangan penting dalam penulisan
sejarah di Indonesia yang mengarah pada bentuk historiografi yang modern adalah
penulisan sejarah yang ditulis oleh orang Belanda. Tradisi lisan adalah berbagai pengetahuan dan adat kebiasaan yang
secara turun-menurun disampaikan secara lisan dan mencakup hal-hal tidak hanya
berisi cerita rakyat, mite, dan legenda.
Daftar Pustaka
Agus Mulyana,
Darmiasti, Historiografi di Indonesia,
2009, Bandung: PT.
Refieka Aditama
I Gde Widja, Sejarah Lokal Suatu Perspektif dalam
Pengajaran Sejarah, 1989,
Jakarta: DEPDIKNAS
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, 2003, Yogyakarata:
PT. Tiara wacana Yogya
Scuthle
Nordholt, dkk, Perspektif baru Penulisan
Sejarah Indonesia, 2008,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Suwardi Endraswara,
Foklor Nusantara: Hakikat,bentuk dan
Fungsi 2003,
Yogyakarta: Ombak
Thompson, Paul, Suara dari Masa Silam: Teori dan Metode Sejarah Lisan, 2012,
Ombak: Yogyakarta
[1] Agus
Mulyana, Darmiasti, Historiografi di
Indonesia, 2009, (Bandung: PT. Refieka Aditama), hlm 1-9
[2]
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah,
2003, (Yogyakarata: PT. Tiara wacana Yogya), hlm.1-5
[3] Scuthle
Nordholt, dkk, Perspektif baru Penulisan
Sejarah Indonesia, 2008, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia), hlm.177-180.
[4]Thompson,
Paul, Suara dari Masa Silam: Teori dan
Metode Sejarah Lisan, 2012, (Ombak: Yogyakarta), hlm. 25
[5]Agus
Mulyana, Op., Cit, hlm. 11-15.
[6]
Kuntowijoyo, OP., Cit, hlm. 25.
[7] I Gde
Widja, Sejarah Lokal Suatu Perspektif
dalam Pengajaran Sejarah, 1989, (Jakarta: DEPDIKNAS), hlm.56-61.
[8]Suwardi Endraswara, Foklor Nusantara: Hakikat,bentuk dan Fungsi 2003, (Yogyakarta:
Ombak), hlm. 247-249.
Fungsi tradisi sejarah
BalasHapus