Selasa, 28 Januari 2014

Tradisi lisan dan tulisan

BAB I
Pendahuluan
A.    Latar Belakang
Historiografi dalam arti luas merupakan sejarah penulisan sejarah yang berisi aktivitas manusia dan peradaban pada masa lampau yang didalamnya terdapat sesuatu yang berkesinambungan, kausalitas dan perubahan yang didalamnya terdapat teori dan metodologi yang isinya mempunyai kesatuan yang utuh. Historiografi adalah relistruksi imajinatif masa lampau manusia pada masa lampau berdasarkan bukti-bukti dan data-data yang diperoleh melalui proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Penulisan sejarah zaman dahulu atau historiografi tradisional pada zaman dahulu dilakukan oleh para pujangga. Walau belum mengetahui secara pasti apa fungsi penulisan sejarah, tapi penulisan sejarah banyak dilakukan. Penulisan tersebut dilakukan atas dasar keinginan sendiri atau atas dasar permintaan seorang raja.
Sebelum sejarah ditulis oleh para pujangga pada zaman dahulu, sejarah sudah disampaikan melalui cerita. Yang dikenal dengan tradisi kecil dan tradisi besar. Tradisi kecil merupakan penyampaian sejarah melalui cerita lisan, Sedangkan tradisi besar merupaka penyampaian sejarah melalui tulisan. Tradisi kecil berlangsung sebelum ada Tulisan, belum ada bahasa sansekerta dan tulisan jawa. Kemudian melalui proses yang sangat panjang tradisi kecil tersebut berkembang menjadi tradisi besar, tentu saja seiring dengan ada dan berkembangnya tulisan, bahasa sansekerta dan bahasa jawa; Penulisan sejarah yang ada sebagian besar ditemukan di istana, maka penulisan sejarah pada zaman dahulu bersifat istana sentris.
Tradisi besar atau tradisi tulisan yaitu penyampaian sejarah melalui tulisan. Tradisi tulisan tentu saja ada setelah manusia mengenal tulisan. Tulisan yang menjadi sasaran penulis dipandang sebagai hasil budaya yang berupa cipta sastra. Tulisan yang berupa naskah itu dipandang sebagai cipta sastra karena teks yang terdapat di dalam naskah itu merupakan suatu keutuhan dan mengungkapkan pesan. Pesan yang terbaca dalam teks secara fungsional berhubungan erat dengan filsafat hidup masyarakat pendukungnya. Teks tulisan dapat berupa tulisan tangan, tetapi dapat pula tulisan cetakan.
Tulisan atau Naskah-naskah kuno yang tersimpan di museum-museum, perpustakaan-perpustakaan, maupun yang tersimpan pada anggota masyarakat di seluruh pelosok tanah air, merupakan warisan nenek moyang bangsa yang sangat berharga, karena pada naskah-naskah kuno itulah terkandung informasi tentang keadaan, gambaran, sikap, pandangan, dan cita-cita mereka semasa hidupnya. Saat ini bagi anak-cucunya, karya mereka jelas merupakan dasar budaya bangsa Indonesia, Naskah kuno di Indonesia bersisikan berbagai ragam, mulai dari naskah kesusastraan dalam arti terbatas sampai keagamaan, kemasyarakatan, sejarah, yang sangat penting bagi pengetahuan kebudayaan tiap-tiap daerah dan sebagai keseluruhan dapat memberikan gambaran lebih jelas mengenai kebudayaan Indonesia pada umumnya. Umumnya naskah-naskah kuno itu ditulis dalam bahasa daerah dan menggunakan aksara daerah. Oleh sebab itu, para penulis dalam hal ini adalah pujangga, pujangga Nusantara memang harus menguasai bahasa dan aksara daerah Nusantara.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud tradisi tulisan ?
2.      Apakah yang dimaksud tradisi lisan ?

C.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui apayang dimaksud tradisi tulisan
2.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud tradisi lisan



BAB II
Tradisi Tulisan dan Tradisi Lisan
A.    Tradisi Tulisan
Awal perkembangan penulisan sejarah di Indonesia dimulai dengan adanya penulisan sejarah dalam bentuk naskah. Beberapa sebutan untuk naskah-naskah yaitu babad, hikayat, kronik, tambo dan lain-lain. Bentuk penulisan sejarah pada naskah tersebut, termasuk dalam kategori historiografi tradisional, sebutan ini untuk membedakan dengan historiografi tradsional. Historiogarfi modern sudah lebih dulu berkembang di barat. Ciri Historiografi modern yang membedakan dengan historiografi tradisional adalah penggunaan fakta. Fakta menjadi kenyataan sejarah.
Perkembangan historiografi seiring dengan perkembangan alam pikiran manusia. Historiogarfai di Indonesia seiring pula dengan perkembangan sejarah Indonesia. Salah satu perkembangan penting dalam penulisan sejarah di Indonesia yang mengarah pada bentuk historiografi yang modern adalah penulisan sejarah yang ditulis oleh orang Belanda. Sebuah tim yang terdiri dari para sarjana ahli sejarah dan diketuai Dr. FW. Stapel. Judul buku sejarah yang ditulis tersebut adalah Geschiedenis van Nederlandsch Indie (Sejarah Hindia Belanda).
Penulisan Stapel dianggap Neerlandosentris. Dalam perkembangan kemudian banyak mendapat kritikan. Sejak awal kemerdekaan semanagat penulisan sejarah Indonesiasentris telah muncul. Salah satu cara yang dilakukan oleh para penulis sejarah Indonesia, khususnya penulis buku-buku pelajaran sejarah, mengubah judul buku sejarahnya menjadi “Sejarah Indonesia”. Penulisan buku sejarah ini khususnya diperuntukan kepentingan sekolah.
Pada masa pendudukan Jepang, pelajaran sejarah mendapatkan pengawasan yang ketat dari badan propaganda dan kebudayaan bentukan pemerintah Militer Jepang. Pemerintahan Jepang salah satu upaya menhilangkan pengaruh barat (Belanda) terhadap kaum pribumi melaui jalur pendidikan, sehingga istilah “Sejarah Tanah Hindia” diubah menjadi “Sejarah Indonesia”. Berakhirnaya pendudukan Jepang, muncul buku pegangan yang dipakai di sekolah. Buku tersebut ada yang resmi ditulis oleh guru sendiri yang berupa diktat maupun diterbitkan menjadi buku. Da beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam penulisan sejarah Indonesia sebagai upaya dekolonisasai yaiu :
1.      Sejarah Indonesia yang wajar adalah sejarah yang mengungkapakan “Sejarah dari dalam” dimana bangsa Indonesia sendiri memegang peranan pokok.
2.      Proses perkembangan bangsa masyarakat Indonesia hanya dapat diterangakan sejelas-jelasnya dengan menguraikan faktor atau kekuatan yang mempengaruhinya, baik ekonomi, sosial, politik ataupun kultural.
3.      Pengungkapan aktivitas dari berbagai golongan masyarakat, tidak hanya para bangsawan, atau kstaria, tetapi juga dari kaum ulama atau petani serta golongan-golongan lainnya.
4.      Untuk menyusun sejarah Indonesia sebagai suatu sintese, dimana digambarkan proses yang menunjukan perkembangan kearah kesatuan geo-politik seperti yang kita hadapi dewasa ini maka prinsip intregasi perlu dipergunakan untuk mengukur seberapa jauh integrasi itu dalam masa-masa tertentu telah tercapai.
Adanaya filsafat sejarah nasional agar penulisan sejarah Indonesia mempunyai sendi yang berdasarkan alam pikiran untuk menyusun sejarah Indonesia kembali. Pada tahun 1963 dibentuk panitia untuk melaksanakan penulisan kembali sejarah Indonesia, namun karena pada tahun-tahun berikutnya di negara kita terjadi ketegangan sosial dan krisis politik, menyebabkan panitia tidak dapat menghasilkan sesuatu. Titik terang dalam perkembangan penulisan buku sejarah nasional kembali muncul dengan diselenggarakannya Seminar Sejarah Nasional Kedua di Yogyakarta tahun 1970. Upaya perbaikan terhadap penulisan sejarah Indonesia terus dilakukan. Penulisan sejarah tidak hanya dengan pendekatan struktural , namun juga muncul pendekatan strukturis.[1] Historiografi Indonesia modern baru dimulai sekitar tahun 1957, waktu diselenggarakannya Seminar Nasional Indonesia Pertama di Yogyakarta.
Agenda Seminar itu meliputi filsafat sejarah nasional, periodesasi Sejarah Indonesia, dan pendididkan sejarah. Dari sinilah mulai nasionalisasi atau untuk menggunakan istilah saat ini “pribumisasi” historiografi Indonesia. Sebagai usaha tambahan terhadap penulisan sejarah, dapat disebutkn usaha-usaha penerbitan arsip yang dikerjakan oleh Arsip Nasional. Tulisan ini akan meliputi juga kegiatan penerbitan-penerbitan yang tidak secara khusus mengklaim sebaga penerbit sejarah, tetapi yang dalam kenyataannya menyumbang besar terhadap pemahaman sejarah, seperti penerbitan buku-buku “kenangan” ulang tahun tokoh-tokoh sejarah.  Dalam penulisan sejarah kontemporer, misalnya, penulis-penulis skripsi tidak saja ingat persoalan politik, tetapi sudah menjangkau masalah-masalah sosial, agama, budaya dengan pendekatan-pendekatan baru berdasar pengetahuan mereka mengenai ilmu-ilmu sosial.[2]
B.     Tradisi Lisan
Sejarah lisan tampak sebagai sebuah metode untuk menggali pengalaman orang biasa, mengatasai keterbatasan dokumen tertulis yang tidak banyak dan sering tidak terawat. Sejarah lisan menurut perimbangan antar berbagai prioritas yang saling bersaing, dan banyak dari prioritas ini berkaitan dengan kepekaan peneliti akan hubungan pribadi anatar manusia. Sisi afektif dan emosi dalam penelitian sejarah paling menonjol dalam sejarah lisan, karena dalam sejarah lisan kita berdialog dengan orang-orang hidup.[3]
Sejarawan besar profesional abad ke-19 asal pranci, Jules Michelet. Profesor Ecole Normale, Sorbone dan College de Farnce, serta kurator kepala pada Arsip Nasional, menulis karyannya History of the French Revolutions (1847-53), ia beranggapan bahwa dokumen tertulis harusnya menjadi salah satu sumber saja. Dalam jangka sepuluh tahun dia mengumpulkan bukti-bukti lisan secara sistematis di luar Paris. Niatnya menyeimbangkan bukti berupa dokumen-dokumen resmi dengan penilaian politis yang di dapat dari tradisi lisan populer.
Ketika mengatakan sejarah lisan, yang dia maksud adalah tradisi nasional, yang umumnya tersebar dalam mulut semua orang, yang dikatakan dan diulangi setiap orang, petani, orang udik, orang tua, perempuan, bahkan kanak-kanak; yang dapat kau dengar ketika memasuki kedai minum desa di malam hari; yang dapat kau kumpulkan dan temukan pada pejalan kaki yang tengah berhenti, kau mulai bercakap-cakap dengannya tentang hujan, musim, kemudian tentang persediaan makanan, zaman-zaman para kaisar, zaman-zaman revolusi.[4]
            Peristiwa-peristiwa pada masyarakat yang belum mengenal tulisan, tidak meninggalkan bukti-bukti tertulis. Jika menjelaskan suatu asal-usul tempat, maka yang dijadikan bukti hanya bukti benda atau artefak dari benda itu sendiri. Penjelasan asal-usul tempat itu lebih banyak berupa cerita lisan. Cerita tersebut akan terus menerus diceritakan dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi sehingga menjadi sutu tradisi atau menjadi tradisi lisan. Tardisi lisan merupakan cara yang dilakukan oleh masyarakat yang belum mengenal tulisan dalam merekam dan mewariskan pengalaman masa lalu dari masyarakatanya.
            Tradisi lisan berfungsi sebagai alat “mnemonik” usaha untuk merekam, menyusun dan menyimpan pengetahuan demi pengajaran dan pewarisannya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Masyarakat pendukung tradisi lisan lebih mementingkan retorika ceritanya daripada kebenaran faktanya. Pewarisan ini dilakuakan agar masyarakat yang menjadi generasi berikutnya memiliki rasa kepemilikan atau mencintai cerita masa lalunya. Tardisi lisan dalam bentuk pesan-pesan verbal yang berupa pernyataan-pernyataan lisan yang diucapakan, dinyanyikan atau disampaikan lewat musik. Asal tradisi lisan dari generasi sebelumnya karena memiliki fungsi penafsiran, sedangkan di dalam sejarah lisan, tidak ada upaya untuk pewarisan .[5]
            Tradisi lisan tidak termasuk kesaksian mata yang merupakan data lisan. Juga tidak termasuk rerasan masyarakat yang meskipun lisan tetapi tidak ditularkan dari satu generasi ke generasi lain. Tradisi lisan terbatas dalam kebudayaan lisan dari masyarakat yang belum mengenal tulisan. Tradisi lisan mengandung nilai-niali moral, keagamaan, adat-istiadat, cerita-cerita khayal, peribahasa, nyanyian, mantra. Dalam ilmu antropologi tradisi lisan sebagai sumber data bagi penelitian sudah dipergunakan sejak awaltimbulnya ilmu itu, tetapi dalam ilmu sejarah penggunaan tradisi lisan masih merupakan hal yang baru.[6]
            Tradisi lisan muncul berkaitan dengan usaha mengabadikan pengalaman-pengalaman kelompok dimasa lampau melalui cerita yang diturunkan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Menurut Vansia unsur penting dalam tradisi lisan adalah pesan-pesan verbal yang berupa pernyataan-pernyataan yang pernah dibuat dimasa lampau oleh generasi yang hidup sebelum generasi yang sekarang ini. Yang perlu diperhatikan dalam hubungan tardisi lisan ini adalah:
1.      menyangkut pesan-pesan yang berupa pernyataan-pernyataan lisan yang diucapakan, dinyanyikan atau disampaikan lewat musik atau alat bunyi-bunyian.
2.      Tradisi lisan berasal dari generasi sebelum generasi sekarang, paling sedikit satu generasi sebelumnya.
Menurut Vansia, tradisi lisan bisa dibedakan menjadi beberpa jenis :
1.      Petuah-petuah yang sebenarnya merupakan rumusan kalimat yang dianggap punya arti khusus bagi kelompok, yang biasannya disitat secara berulang-ulang untuk menegaskan satu pandangan kelompok yang diharapakan jadi pegangan bagi generasi-generasi berikutnya. Rumusan kalimat biasannya diusahakan tidak diubah-ubah meskipun dalam kenyataan perubahan bisa terjadi terutama sesudah melewati beberapa generasi, apalagi penerusannya bersifat lisan, jadi sukar dicek dari rumusan aslinya. Namun karena kedudukannya istimewa dalam kelompok, maka tetap diyakini bahwa rumusan itu tidak berubah.
2.      Kisah tentang kejadian-kejadian disekitar kehidupan kelompok, baik sebagai kisah perseorangan atau kelompok. Kisah yang sebenarnya berintikan fakta tertentu, fakta inti dengan cepat biasannya diselimuti unsur kepercayaan atau pencampuradukan anatar fakta dengan kepercayaan itu. Cara penyampaian fakta memang seperti penyampaian gosip (penuh dengan tambahan menurut selera penuturnya. Vanisa memberi istilah “historical gossip” (gosip yang berniali sejarah).
3.      Cerita kepahlawanan yang berisi bermacam gambaran tentang tindakan kepahlawanan yang mengagumkan bagi kelompok pemiliknya yang biasannya berpusat pada tokoh-tokoh tetentu dari kelompok itu.
4.      Cerita Dongeng yang umumnya bersifat fiksi belaka. Biasanya berfungsi umtuk menyenangkan bagi yang mendengarkannya.
Tradisi lisan sering dihubungkan dengan folklor, karena foklor menyangkut tradisi dalam kelompok masyarakat atau komunitas tetentu, Pewarisan melaui cara lisan atau tutur kata. Tardisi lisan hanyalah bagian dari foklor. Tardisi lisan mempunyai keterbatasan yaitu adanya unsur subjektifitas lebih besar dibandingkan unsur tertulis. Yang menjadi masalah dalam tradisi lisan adalah penerapan konsep kausalitas dalam uraian ceritannya. Tradisi lisan memuat informasi luas tentang kehidupan  suatu komunitas dengan berbagai aspeknya.[7]                  
Tradisi lisan adalah  berbagai pengetahuan dan adat kebiasaan yang secara turun-menurun disampaikan secara lisan dan mencakup hal-hal tidak hanya berisi cerita rakyat, mite, dan legenda. Tradisi lisan diartikan sebagai “segala wacana yang diucapkan meliputi yang lisan dan hanya beraksara.” Menurut Suripan Sadi Hitomo (1991:11), tradisi lisan itu mencakup beberapa hal, yakni (1) yang berupa kesusutraan lisan, (2) yang berupa teknologi tradisional, (3) yang berupa pengetahuan folk di luar pusat-pusat istana dan kota metropolitan, (4) yang berupa unsur-unsur religi dan kepercayaan folk di luar batas formal agama-agama besar, (5) yang berupa kesenian folk di luar puast-pusat istana dan kota metropolitan, dan (6) yang berupa hukum adat. Kemudian pudentia (1999:32-35) memberikan pemohonan tentang hakikat orality sebegai berikut.
                                    Tradisi lisan (oral tradition) mancakup segala hal yang berhubungan dengan sastera, bahasa, sejarah, biografi, dan berbagai pengetahuan serta jenis kesenian lain yang disampaikan dari mulut ke mulut. Jadi tradisi lisan tidak hanya mencakup cerita rakyat, teka-teki, peribahasa, nyanyian rakyat, mitologi, dan legenda, seperti yang umumya diduga orang, tetapi juga berkaitan dengan sistem kognitif kebudayaan, seperti sejarah hukum, dan pengobatan. Tradisi lisan adalah “segala wacana yang diucapkan atau disampaikan secara turun-temurun meliputi yang lisan dan yang berraksara” dan diartikan juga sebagai “sistem wacana yang bukan beraksara.” Tradisi lisan tidak hanya di miliki oleh orang lisan saja. Implikasi kata “lisan” dalam pasangan lisan tertulis berbeda dengan lisan beraksara. Lisan yang pertama (oracy) mengandung maksud kebebasan bersuara; sedangkan lisan kedua (orality) dalam maksud beraksara kebolehan bertutur secara beraksara.
Kelisanan dalam masyarakat berakasara sering diartikan sebagai hasil dari masyarakat yang terpelajar; sesuatu yang belum dituliskan; sesuatu yang dianggap belum sempurna atau matang, dan sering dinilai dengan kriteria keberaksaraan. Bila diberikan deskripsi tentang kelisanan dengan memakai ukuran dari hal-hal yang berasal dari dunia keberaksaraan, masih ada hal-hal tertentu yang khas dari kelisanan yang belum terungkap ada pula hal-hal yang diungkapkan, tetapi tidak diwujudkan. Hal ini tidaklah berarti bahwa kelisanan sama sekali terlepas dari dunia keberaksaraan atau sebaiknya, dunia keberaksaraan tidak berkaitan dengan dunia kelisanan. Hubungan di antara tradisi lisan dan tradisi tulis khususnya dalam dunia melayu didasari oleh anggapan bahwa dengan mengetahui interaksi keduanya, bru dapat memahami masing-masing tradisi tersebut. Pada beberapa tempat hubungan atau penulisan tradisi lisan ke dalam naskah tertulis, sebagaimana telah dijelaskan pada hakikat keselisihan di atas, tertentu memiliki latar belakang yang berbeda-beda dalam perjalanannya, naskah-naskah yang berawal dari riwayat lisan menimbulkan banyak versi. Hal ini dipengaruhi oleh selera penulis atau penyaliannya.[8]
BAB III
Penutup
Historiografi adalah relistruksi imajinatif masa lampau manusia pada masa lampau berdasarkan bukti-bukti dan data-data yang diperoleh. Data-data tersebut menjadi dua kategori yaitu tulisan dan lisan. Yang dikenal dengan tradisi kecil dan tradisi besar. Tradisi kecil merupakan penyampaian sejarah melalui cerita lisan, Sedangkan tradisi besar merupaka penyampaian sejarah melalui tulisan. Tradisi kecil berlangsung sebelum ada Tulisan.
            Awal perkembangan penulisan sejarah di Indonesia dimulai dengan adanya penulisan sejarah dalam bentuk naskah.Salah satu perkembangan penting dalam penulisan sejarah di Indonesia yang mengarah pada bentuk historiografi yang modern adalah penulisan sejarah yang ditulis oleh orang Belanda. Tradisi lisan adalah  berbagai pengetahuan dan adat kebiasaan yang secara turun-menurun disampaikan secara lisan dan mencakup hal-hal tidak hanya berisi cerita rakyat, mite, dan legenda.










Daftar Pustaka

Agus Mulyana, Darmiasti, Historiografi di Indonesia, 2009, Bandung: PT.
       Refieka Aditama

I Gde Widja, Sejarah Lokal Suatu Perspektif dalam Pengajaran Sejarah, 1989,
       Jakarta: DEPDIKNAS

Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, 2003, Yogyakarata: PT. Tiara wacana Yogya

Scuthle Nordholt, dkk, Perspektif baru Penulisan Sejarah Indonesia, 2008,
       Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Suwardi Endraswara, Foklor Nusantara: Hakikat,bentuk dan Fungsi 2003,
       Yogyakarta: Ombak
 Thompson, Paul, Suara dari Masa Silam: Teori dan Metode Sejarah Lisan, 2012,
       Ombak: Yogyakarta











[1] Agus Mulyana, Darmiasti, Historiografi di Indonesia, 2009, (Bandung: PT. Refieka Aditama), hlm 1-9

[2] Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, 2003, (Yogyakarata: PT. Tiara wacana Yogya), hlm.1-5
[3] Scuthle Nordholt, dkk, Perspektif baru Penulisan Sejarah Indonesia, 2008, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia), hlm.177-180.

[4]Thompson, Paul, Suara dari Masa Silam: Teori dan Metode Sejarah Lisan, 2012, (Ombak: Yogyakarta), hlm. 25

[5]Agus Mulyana, Op., Cit, hlm. 11-15.

[6] Kuntowijoyo, OP., Cit, hlm. 25.
[7] I Gde Widja, Sejarah Lokal Suatu Perspektif dalam Pengajaran Sejarah, 1989, (Jakarta: DEPDIKNAS), hlm.56-61.
[8]Suwardi Endraswara, Foklor Nusantara: Hakikat,bentuk dan Fungsi 2003, (Yogyakarta: Ombak), hlm. 247-249.

1 komentar: